Jakarta, suarabuana.com – Terkait latar belakang pendidikan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang saat ini tengah jadi pemberitaan dan perbincangan publik. Demikian disampaikan Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam klarifikasnya.
“Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menjalani pendidikan di tiga perguruan tinggi berbeda. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyelesaikan pendidikan Strata I (pertama) di Universitas 17 Agustus di Semarang. Kemudian pendidikan Strata II (kedua) di Sekolah Tinggi Manajemen Labora di DKI Jakarta, dan Strata III di Universitas Satyagama di DKI Jakarta,” ujar Leonard, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta Kamis (23/9/21).
“Dokumen dan data tersebut tercatat secara resmi di Biro Kepegawaian Kejaksaan Agung RI, adalah sama dengan yang dipergunakan pada acara pengukuhan sebagai Guru Besar Tidak Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Pidana di Universitas Jenderal Soedirman,” tambah Leonard.
Leonard menyebutkan dengan adanya penjelasan terkait latar belakang pendidikan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin tersebut dapat meluruskan pemberitaan yang beredar di masyarakat saat ini. Dari penjelasan Puspenkum Kejaksaan Agung telah memberikan pelurusan atas pemberitaan dimaksud.
Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI juga menegaskan, adanya beberapa data Jaksa Agung yang tersebar di media lainnya, dipastikan bahwa data tersebut adalah “salah”, dan selama ini tidak pernah dikonfirmasikan secara resmi kepada instansi Kejaksaan Republik Indonesia.
Sebelumnya, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, mengukuhkan Jaksa Agung Dr ST Burhanuddin sebagai Profesor Bidang Ilmu Hukum Pidana dan Guru Besar Tidak Tetap Unsoed. Pengukuhan tersebut dilaksanakan pada acara Sidang Senat Terbuka yang digelar secara luring di Auditorium Graha Widayatama Unsoed Purwokerto, Jumat, serta daring melalui Zoom dan Youtube.
“Saya ingin menekankan sekali lagi agar kita semua dapat menggunakan hati nurani. Hukum berdasarkan hati nurani akan dapat mencapai dan mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum secara bersamaan tanpa ada penegasian,” kata Jaksa Agung. Prof Dr ST Burhanuddin dalam pidato berjudul “Hukum Berdasarkan Hati Nurani, Sebuah Kebijakan Penegakan Hukum Berdasarkan Keadilan Restoratif”.
Saat memberi sambutan, Rektor Unsoed Purwokerto Prof Ir Suwarto mengatakan Dr ST Burhanuddin dikukuhkan sebagai Profesor Bidang Ilmu Hukum khususnya Keadilan Restoratif Universitas Jenderal Soedirman. Lebih lanjut, dia mengatakan negara telah mengamanatkan kepada perguruan tinggi sebagai satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
“Tugas tersebut sesungguhnya memberikan arti yang strategis bagi kampus sebagai lahan subur persemaian ilmu pengetahuan yang memampukan suatu keunggulan dan penguatan daya saing bangsa. Mandat yang diberikan tersebut senantiasa memberikan kesempatan bagi sivitas akademika untuk berproses bagaimana ilmu pengetahuan tersebut dapat diartikulasikan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, bangsa, negara, dan nilai-nilai kemanusiaan,” katanya.
Sementara saat menggelar konferensi pers, Rektor Unsoed Prof Ir Suwarto mengatakan pengukuhan Prof Dr ST Burhanuddin merupakan kebanggaan bagi Universitas Jenderal Soedirman. Menurut dia, pengukuhan gelar profesor tersebut telah melalui prosedur dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
“Kami menilai, kami mengusulkan (gelar profesor untuk ST Burhanuddin) karena atas prestasi beliau di bidang hukum,” katanya didampingi Wakil Rektor Bidang Keuangan dan Umum Prof Hibnu Nugroho. Tentunya beliau layak karena memiliki suatu keistimewaan, suatu temuan baru, ide-ide baru, salah satunya adalah hukum restoratif yang isinya tadi sudah disampaikan oleh beliau,” katanya.
Wakil Rektor Bidang Keuangan dan Umum Prof Hibnu Nugroho mengatakan ide besar dari Prof Dr ST Burhanuddin merupakan suatu yang cukup memberikan angin segar bagi penegakan hukum di Indonesia. Menurut dia, hal itu disebabkan kebijakan penegakan hukum di Indonesia jika dilihat sejak tahun 1981 berorientasi pada pidana penjara.
“Oleh karena itu, bapak, ibu bisa lihat bagaimana lapas (lembaga pemasyarakatan) itu penuh. Lapas over kapasitas sehingga negara ‘belum mampu’ mengimbangi sarana prasarana yang ada. Dengan demikian, pemikiran Pak Burhanuddin ini ke depan kalau terus dikembangkan dengan perkara, dengan nilainya, Insya Allah ke depan akan imbang, mengurangi over kapasitas yang ada,” kata pakar hukum pidana itu.(ahp/ant)