Depok, SUARABUANA.com – Sungguh ironi, di negara yang kaya dengan sumber kekayaan alamnya seperti Indonesia, penduduknya justru berbondong-bondong mencari kerja ke luar negeri sebagai pekerja migran. Dengan tingkat pendidikan rendah dan sedikit berbekal keterampilan, atau bahkan tanpa keterampilan sama sekali, banyak dari mereka direkrut oleh agen-agen tenaga kerja tak resmi, sehingga sangat rentan terhadap Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Sebaliknya, Masyarakat Indonesia yang berpendidikan tinggi dan bertalenta justru berbondong-bondong mengajukan pindah kewarganegaraan, seperti ke Singapura. Saat ini dilaporkan 1000 WNI yang bertalenta setiap tahun pindah menjadi warga negara Singapura. Hal ini disampaikan Dr, H.M.Q. Wisnu Aji, SE, M.Ed, caleg DPRD Provinsi Jawa Barat dari Partai Buruh, di kantornya, Citra Gumilang Pratama, di daerah Cimanggis Depok, yang bergerak di bidang pelatihan security dan building management, Sabtu (26/8/23).
Ditambahkan Wisnu, “TPPO adalah salah satu bentuk kejahatan luar biasa yang mencederai harkat dan martabat manusia. Perdagangan orang itu juga menjadi salah satu kejahatan lintas batas negara yang melibatkan jaringan kuat, sistemis, dan terorganisasi. Indonesia menjadi negara asal perdagangan orang dengan tujuan terbesar ke Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Taiwan, Jepang, Hongkong, dan Timur Tengah. Salah satu faktor penyebabnya adalah masalah ekonomi dan kemiskinan,” jelas Wisnu.
Walaupun pihak kepolisian dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) telah bekerja keras untuk melindungi para calon tenaga kerja migran, namun korban TPPO terus saja berjatuhan. Mereka direkrut oleh agen-agen pengiriman tenaga kerja dengan prosedur pengiriman dan penempatan tak resmi. Mereka diiming-imingi gaji tinggi serta berbagai fasilitas lainnya. Berdasarkan Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kementerian PPA, hingga saat ini lebih dari 1500 orang korban TPPO yang dilaporkan. Kemungkinan besar jumlah yang tidak dilaporkan lebih banyak lagi karena ketatnya pengawasan dan intimidasi selama proses perekrutan, ungkap Wisnu.
Kelompok Masyarakat rentan, terutama perempuan dan anak-anak kerap menjadi korban dalam kejahatan ini. Saat ini modus TPPO tidak hanya menggunakan praktik perekrutan pekerja migran, namun sudah meluas menjadi perekrutan pekerja magang, pendidikan dan pelatihan singkat (short course) dengan iming-iming beasiswa, hingga penjualan organ tubuh (ginjal). Saat ini korbannya pun tidak hanya Masyarakat berpendidikan rendah, yang berpendidikan tinggi pun tidak sedikit yang menjadi korban karena sulitnya mendapatkan pekerjaan di dalam negeri.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah pengangguran di Indonesai tahun 2023 ini sebanyak 7,99 juta orang, 5,59% diantaranya lulusan perguruan tinggi. Setiap tahun perguruan tinggi di Indonesai meluluskan lebih dari 1,4 juta orang, namun lowongan pekerjaan yang tersedia hanya sekitar 141 ribu orang. Pemerintah perlu membuat terobosan untuk membuka lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya dan atau memberikan affirmasi bagi mereka yang tinggal di sentra-sentra industri, seperti di kota Depok dan Bekasi. Affirmasi yang diberikan bisa berupa kewajiban industri untuk menampung tenaga kerja lokal minimal 50% dengan konpensasi kemudahan izin dan keringanan pajak misalnya.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukan jumlah pekerja migran Indonesia saat ini lebih dari 3,4 juta orang, sebagian besar berada di Malaysia, Arab Saudi, Hongkong, dan Taiwan. Walaupun banyak kisah sukses dari para pekerja migran Indonesia, namun tidak sedikit yang menjadi korban. Negara tidak boleh abai melindungi dan menjaga keselamatan mereka. Meraka layak mendapat penghargaan sebagai pahlawan devisa. Oleh sebab itu, tidak boleh ada satu orang pun yang menjadi korban TPPO. Negara harus selalu hadir melindungi mereka dari perlakuan yang tidak manusiawi, seperti tidak kekerasan, atau hak-haknya yang tidak dipenuhi.
Menurut Wisnu, saat ini masyarakat di segala kalangan usia cenderung menggunakan media sosial dalam menjalankan berbagai aktivitasnya. Hal ini juga rentan disalahgunakan sebagai media atau sarana terjadinya TPPO terutama pada kelompok rentan (perempuan dan anak). Beberapa kasus TPPO yang terjadi dimulai dari penggunaan media sosial yang awalnya hanya berkenalan dan berteman di dunia maya kemudian berujung pada jerat TPPO.
Dihimbau kepada masyarakat untuk lebih bijak dan cerdas dalam menggunakan media sosial. Selalu waspada terhadap orang yang tidak dikenal, jangan mudah dibujuk rayu dengan iming-iming gaji besar atau pemberian fasilitas yang menggiurkan. Apabila ingin bekerja ke luar negeri sebaiknya melalui prosedur resmi yang sudah mendapat rekomendasi dari pemerintah. Dan yang penting lagi harus punya keterampilan yang memadai sesuai kebutuhan pasar kerja di luar negeri, pungkas Wisnu.(fal)