Oleh: Anonymous-65
PRAKTIK ijon proyek di ruang eksekutif dan legislatif, seharusnya bisa dicegah dari awal sejak perencanaan hingga pelaksanaannya.
Biasanya praktik tersebut, terjadi di awal tahun anggaran. Sebab, disitulah pekerjaan proyek biasanya dimulai dengan sistem pengkondisian terhadap rekanan.
Sehingga lelang proyek pun hanya sekedar formalitas, sebab siapa yang akan mengerjakan, proyek yang dilelang sebenarnya sudah ditentukan saat awal perencanaan.
Praktik seperti ini, bisa dikatakan sudah menjadi rahasia umum dan hampir terjadi di sejumlah daerah di tanah Nusantara ini. Hal tersebut dapat dibuktikan, dari adanya beberapa perkara yang disidangkan di lembaga peradilan.
Dikalangan wakil rakyat, modus yang dilakukan pun hampir sama, yaitu; bagaimana oknum anggota DPRD mencari keuntungan untuk dirinya sendiri dalam proses persetujuan APBD maupun penentuan para pemenang lelang proyek pekerjaan.
Bahkan yang lebih parahnya lagi, itu menggunakan dana aspirasi demi untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Praktik fee 10-15 persen dipungut dari pihak rekanan sudah menjadi hal biasa yang kerap terdengar di ruang publik.
Praktik ini paling marak terdengar di proyek penunjukan langsung, atau yang nilainya di bawah Rp200 juta. Disitu, tetap saja permainan fee terjadi. Ironisnya, selama ini praktik tersebut belum pernah disentuh oleh aparat penegak hukum (APH).
Padahal DPRD sebagai representasi aspirasi masyarakat, sepatutnya menjalankan tupoksi dalam mengawasi, memastikan jalannya pemerintahan dan pembangunan yang dikelola pemerintah daerah agar sesuai dengan ketentuan sehingga bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Seharusnya legislatif jangan ikut bermain, sehingga pembangunan yang sehat dapat tercipta. Sudah eksekutif bermain, ditambah lagi legislatifnya ikut cawe-cawe, maka disitulah praktik korupsi akan meraja. (®)