Oleh : Mochdar Soleman, S.IP.,M.Si
Pengajar dan Pengamat Politik Lingkungan Universitas Nasional, Jakarta
Jakarta, SUARABUANA.com – Wacana pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) Sofifi di Maluku Utara bukan sekadar kebijakan administratif, tetapi pertarungan simbolik dan struktural atas ruang, kekuasaan, dan sumber daya. Dimana Sherly Tjoanda sebagai sosok pengusaha tambang sekaligus sebagai Gubernur Maluku Utara memiliki peran penting dalam dau hal itu, DOB maupun perizinan Tambang.
Berdasarkan data publik yang penulis himpun, Sherly memiliki saham mayoritas dalam sejumlah entitas afiliasi seperti PT Karya Wijaya dan PT Bela Cipta Sarana/PT. Bela Group Hotel dan Bisnis Diversifikasi lainnya.
Perusahaan-perusahaan ini mengoperasikan tambang nikel di wilayah Maluku Utara dan terhubung dalam rantai hilirisasi dan ekspor ke Tiongkok dan Korea Selatan.
Berkaitan dengan itu, saya mencoba menariknya dari konflik tambang baru-baru ini yang terjadi di Maluku Utara dan menguatnya isu tentang Daerah Otonomi Baru (DOB) Sofifi.
Jika kita telusuri dalam perspektif liddle maka sosok Sherly Tjoanda memperlihatkan bagaimana modal tambang dan struktur pemerintahan potensial saling bersinggungan.
Jika DOB Sofifi jadi direalisasikan dan dalam posisi Sherly Tjoanda sebagai gubernur yang tentunya hal ini menegaskan bahwa Ia adalah sedikit tokoh di Indonesia yang mengendalikan baik otoritas administratif maupun akses ekonomi terhadap tambang.
Situasi ini merupakan bentuk nyata dari politik ekstraktif sehingga dalam konteks isu pemekaran wilayah dapat dilihat sebagai satu instrumen perluasan korporasi, sebab suka ataupun tidak pemekaran wilayah akan membuka peluang reorganisasi tata ruang, perubahan otoritas perizinan, dan pelemahan kontrol masyarakat terhadap aktivitas industri.
Hal ini jika dilihat dari kacamata Luigi Graziano (1991) maka ini disebut sebagai “transformasi oligarkis kebijakan,” di mana kebijakan didorong bukan oleh kebutuhan rakyat, tetapi oleh rasionalitas ekonomi aktor elite sebagai representasi rakyat.
Sehingga ketika DOB Sofifi dibentuk, maka struktur birokrasi dan tata ruang wilayah akan berubah. Ini membuka potensi ekspansi wilayah konsesi tambang, pelepasan hutan, serta relaksasi izin AMDAL di wilayah baru yang secara administratif lepas dari Tidore Kepulauan.
Dengan kata lain, DOB ini bukan hanya pemekaran geografis, tetapi juga pemekaran akses dan kontrol terhadap SDA. Dan oleh karena itu, persoalan ini bukan semata soal kedudukan dalam pemerintahan akan tetapi bisa juga merupakan perpanjangan tangan ekonomi yang dibungkus legalitas birokrasi.
Dengan demikian maka kita akan menghadapi bentuk baru dari penyatuan politik dan bisnis sebagai sebuah praktik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang bersih.
Tentunya yang terjadi adalah rakyat kehilangan ruang representasi, sementara perusahaan tambang mendapatkan akses langsung ke instrumen kekuasaan. Ini adalah bentuk kolonialisme ekonomi yang berjalan di bawah spanduk legalitas.
Maka yang seharusnya kita dilakukan saat ini adalah dihentikan sementara proses pemekaran DOB Sofifi dan audit konflik kepentingan dilakukan terhadap semua aktor yang terlibat. Begitu juga sudah selaykanya dibuka forum publik partisipatif yang melibatkan masyarakat Oba, Tidore, tokoh adat, dan sipil independent serta memisahkan kepemilikan korporasi dari posisi politik, agar tata kelola daerah tidak dikuasai oleh pemilik modal.
Dalam hal ini, posisi Pemerintah pusat, DPR, dan Kementerian Dalam Negeri harus berhenti menormalisasi relasi antara kekuasaan publik dan kekuatan ekonomi privat dalam satu tangan. Ini bukan demokrasi, tapi replikasi feodalisme modern dalam wajah legal.