Oleh: Edy Mulyadi, Wartawan Senior
Tanggal 17 September 2025, layak disebut momen paling janggal, hubungan Presiden dan Kapolri. Pada hari itu, Jenderal Listyo Sigit Prabowo tiba-tiba membentuk Tim Reformasi Polri. Ada 52 jenderal dan Kombes yang dilibatkan sebagaimana tertuang dalam Surat Perintah Nomor Sprin/2749/IX/2025.
Pada hari yang sama, Presiden baru saja menunjuk Komjen (Purn) Ahmad Dofiri sebagai Penasehat Khusus Bidang Reformasi Polri. Lalu Menko Kumham menyampaikan, Presiden Prabowo akan membentuk tim reformasi Polri akhir September.
Sigit jelas mendahului Presiden! Menelikung Tim Reformasi Polri bentukan Presiden? Langkah Sigit ini, menimbulkan tanda tanya besar.
Bukankah Polri secara konstitusi, ada dibawah kekuasaan Presiden? Kenapa Kapolri mengambil inisiatif, disaat Presiden sedang menyiapkan mekanisme resmi?!
Publik pun bertanya-tanya, apakah ini sekadar miskomunikasi, atau sinyal perlawanan?
Said Didu menyebut, langkah itu tidak wajar. Bahkan menduga, tim bentukan Kapolri sama sekali tidak berkaitan dengan tim presiden. Sepertinya, ini bentuk perlawanan internal Polri terhadap agenda reformasi Presiden. Lebih jauh, Said Didu menduga ada perintah dari Solo.
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN itu, melontarkan kode keras. Telunjuknya, sedang diarahkan ke Jokowi dan gerombolannya.
Jika benar, drama ini bukan lagi sekadar tarik-menarik kebijakan. Ini pertarungan pengaruh. Jokowi, yang sudah lengser, seakan belum rela melepas kendali atas Polri. Sedangkan Prabowo, sebagai presiden baru, justru sedang membangun legitimasi dengan janji reformasi besar-besaran, termasuk di tubuh kepolisian.
*Jejak Hitam Listyo Sigit*
Rekam jejak Listyo Sigit, memang kerap memperkuat dugaan itu. Sejak dilantik 2021, Polri dibawahnya sering dianggap lebih loyal pada Jokowi ketimbang pada institusi negara. Saat Pilpres 2024, publik menyaksikan bagaimana polisi begitu sigap mengamankan kepentingan penguasa lama.
Kasus besar pun berguguran:
– Tragedi Sambo yang akhirnya membongkar mafia internal di bermacam kejahatan;
– Praktik judi online yang menyeret perwira tinggi,
– Keterlibatan oknum dalam bisnis narkoba,
– Sampai dugaan jual-beli jabatan. Semuanya, meninggalkan jejak noda hitam.
Dosa-dosa polisi di bawah Listyo Sigit, seperti mengulang rekam jejak pendahulunya. Tito Karnavian dan Idham Aziz. Kekerasan dan kebengisan polisi terhadap demonstran, kriminalisasi ulama dan aktivis.
Polisi jadi centeng pengusaha, terutama saat terjadi konflik dengan rakyat. Merekayasa kasus, saksi dan bahkan barang bukti. Sehingga begitu panjang, daftar kejahatan polisi kepada rakyat dan bangsa ini.
Maka, ketika Prabowo bicara reformasi Polri, rakyat otomatis langsung menyambut dengan penuh harapan. Apalagi pasca aksi rusuh akhir Agustus silam, yang memantik kemarahan rakyat.
Publik ingin polisi kembali pada fungsi hakikinya: melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Bukan jadi alat politik atau perpanjangan tangan oligarki.
Tapi langkah Sigit mendahului Presiden, justru memperlihatkan sebaliknya: ada resistensi keras dari dalam tubuh Polri terhadap kontrol sipil.
Bahaya, jika ini dibiarkan. Pertama, Polri makin kehilangan legitimasi di mata rakyat. Kepercayaan publik yang sudah terjun bebas, bisa hancur total.
Kedua, faksi-faksi internal bisa terbentuk, memecah soliditas korps Bhayangkara. Tanda-tanda ini sudah tampak, sejak kasus Sambo, ketika muncul kelompok-kelompok perwira yang saling sikut.
Ketiga, agenda besar reformasi bisa mandek, karena internal Polri menutup diri dari sentuhan Presiden. Dalam konteks ini, posisi Prabowo sangat krusial. Presiden tidak boleh ragu. Kalau Kapolri berani mendahului Presiden dalam hal sepenting reformasi, itu bukan sekadar salah prosedur.
Jelas itu adalah tantangan langsung, terhadap otoritas kepala negara. Jika dibiarkan, bukan hanya agenda reformasi yang gagal, tapi juga wibawa presiden bisa runtuh di mata aparat dan tentu saja, di mata rakyat!
Jalan keluarnya, jelas; KETEGASAN. Presiden harus memastikan, Polri kembali netral, profesional, dan tunduk pada konstitusi. Jika Kapolri tidak bisa menyesuaikan diri, bahkan lebih memilih mengikuti aba-aba ‘dari Solo’, maka opsi pencopotan tidak bisa ditawar.
Lebih baik mengganti satu jenderal, daripada membiarkan seluruh institusi jadi alat tarik-menarik elite yang mengorbankan rakyat!
Said Didu sudah memberi peringatan keras: “Saya sarankan Sigit dan polisi jangan melawan Presiden yang sedang memenuhi harapan rakyat.”
Pesan itu sederhana, tapi penuh makna. Polri tidak bisa lagi main dua kaki. Kanan kiri oke. Ke Merdeka Utara yes. Tapi masih menyembah Solo. Loyalitasnya harus jelas: kepada rakyat lewat Presiden yang sah. Bukan kepada bayang-bayang masa lalu.
Kini, bola ada di tangan Prabowo. Rakyat menunggu. Apakah Prabowo berani menunjukkan, bahwa; komando tertinggi benar-benar ada di tangannya? Ataukah dia membiarkan, sang Kapolri terus menari mengikuti irama Solo?
Wujudkan reformasi Polri. Copot Kapolri, jadi bagian integral reformasi itu. Jangan kecewakan rakyat lagi, Jenderal! []
🇲🇨🇲🇨🇲🇨✍️🇲🇨🇲🇨🇲🇨
Solo, 23 September 2025