JAKARTA, suarabuana.com – Dalam penyampaian refleksi kinerja tahun 2022 yang dilakukan secara daring, Ketua Mahkamah Agung RI Prof. Dr. H.M. Syarifuddin, S.H., M.H., mengatakan, sedianya acara ini dilaksanakan pada akhir tahun, namun karena kesibukan Para Pimpinan Mahkamah Agung dalam penyelesaian perkara yang harus segera dituntaskan sebelum memasuki tahun 2023, maka acara ini dilaksanakan di awal tahun sehingga namanya bukan lagi Refleksi Akhir Tahun, akan tetapi menjadi Refleksi Kinerja Mahkamah Agung tahun 2022.
“Saya berharap kondisi ini tidak menghambat untuk tetap bisa bertatap muka dan bersilaturahmi karena momentum refleksi ini sangat penting bagi Mahkamah Agung untuk menyampaikan segala capaian yang dilakukan selama tahun 2022, sekaligus bisa menyerap aspirasi, saran, dan kritik dari para Jurnalis untuk upaya perbaikan di institusi Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya,” tutur Syarifuddin, Selasa (3/1/2023).
Syarifuddin menerangkan, dalam rangka melaksanakan fungsi mengatur, selama tahun 2022 Mahkamah Agung telah menerbitkan sembilan regulasi dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma), sebagai berikut :
1) Perma Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi Kepada Korban Tindak Pidana.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana dan Pasal 31 Ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban jo Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaan pemeriksaan permohonan restitusi dan kompensasi diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.
Oleh karena itu, Perma Nomor 1 Tahun 2022 diterbitkan untuk memberikan pedoman bagi permohonan hak restitusi dan kompensasi yang diajukan ke pengadilan.
2) Perma Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Keberatan Pihak Ketiga yang Beriktikad Baik Terhadap Putusan Perampasan Barang Bukan Kepunyaan Terdakwa Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi.
Dalam Pasal 19 Ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa pihak ketiga yang beriktikad baik yang haknya dirugikan atas putusan perampasan barang dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
Terkait dengan hal ini undang-undang tidak mengatur secara rinci hukum acara pengajuan dan pemeriksaan keberatan tersebut, sehingga menimbulkan perbedaan penafsiran dan penerapan tata cara penanganan permohonan keberatan.
Oleh karena itu, Perma Nomor 2 Tahun 2022 diterbitkan untuk menjamin kesatuan dan keseragaman penerapan hukum bagi perkara penyelesaian keberatan terhadap putusan perampasan barang bukan kepunyaan terdakwa dalam perkara tindak pidana korupsi untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pihak ketiga yang merasa dirugikan atas putusan perampasan barang bukti tersebut.
3) Perma Nomor 3 Tahun 2022 tentang Mediasi di Pengadilan Secara Elektronik.
Peradilan modern berbasis teknologi informasi merupakan salah satu prasyarat terwujudnya penyelenggaraan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan serta sebagai upaya untuk meningkatkan akses terhadap keadilan.
Hal ini menimbulkan tantangan dalam pelaksanaan mediasi di pengadilan hingga mendorong perlunya implementasi mediasi secara elektronik.
Perma Nomor 3 Tahun 2022 memberikan payung hukum bagi pelaksanaan mediasi secara elektronik dengan bantuan perangkat teknologi informasi.
4) Perma Nomor 4 Tahun 2022 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan.
Perma Nomor 4 Tahun 2022 ini diterbitkan sebagai tindak lanjut atas persetujuan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasu melalui Surat Nomor B/597/M.KT.01/2022 perihal Persetujuan Peningkatan Kelas/Tipe Pengadilan Tingkat Pertama di lingkungan Mahkamah Agung RI yang telah menyetujui kenaikan kelas/tipe pengadilan di lingkungan Mahkamah Agung.
5) Perma Nomor 5 Tahun 2022 tentang Administrasi Pengelolaan Hibah di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang Berada di Bawahnya.
Sebelumnya, Mahkamah Agung telah memiliki Perma Nomor 2 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama antara Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Pemberi Hibah.
Namun dalam Perma tersebut belum diatur tentang mekanisme penerimaan hibah dalam bentuk uang.
Oleh karena itu, Perma Nomor 5 Tahun 2022 memasukan pengaturan tentang mekanisme pemberian hibah dalam bentuk uang dan sekaligus mencabut keberlakuan Perma Nomor 2 Tahun 2014.
6) Perma Nomor 6 Tahun 2022 tentang Administrasi Pengajuan Upaya Hukum dan Persidangan Kasasi dan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung Secara Elektronik.
Setelah terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan secara Elektronik, maka diperlukan pengaturan sistem administrasi dan persidangan secara elektronik di tingkat kasasi dan peninjauan kembali untuk mewujudkan sistem peradilan elektronik pada semua tingkat pemeriksaan.
Oleh karena itu, Perma Nomor 6 Tahun 2022 menjadi payung hukum bagi pelaksnaan administrasi perkara dan persidangan secara elektronik di tingkat kasasi dan peninjauan kembali.
7) Perma Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik.
Beberapa hal yang mengalami penyempurnaan dalam Perma Nomor 7 Tahun 2022 adalah sebagai berkut :
a) Mengubah ketentuan umum hari, yang semula hari adalah hari kerja menjadi hari kalender.
b) Menambahkan ketentuan tentang tanda tangan elektronik.
c) Menambahkan ketentuan tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan Meja E-Court.
d) Menambahkan jenis perkara perdata khusus.
e) Menambahkan norma tentang pengurusan dan pemberesan harta pailit secara elektronik .
f) Menambahkan ruang lingkup persidangan elektronik untuk upaya hukum banding.
g) Menambahkan norma kurator atau pengurus menjadi pengguna terdaftar.
h) Menambahkan Bundel A dan Bundel B yang dikirim ke pengadilan tingkat banding dilakukan secara elektronik.
i) Menambahkan administrasi perkara pada pengadilan tingkat banding dilakukan secara elektronik.
j) Mekanisme persetujuan sidang secara elektronik dalam hal tergugat tidak menyetujui, maka persidangan dilakukan secara hybrid.
k) Pemanggilan melalui surat tercatat bagi Tergugat yang tidak memiliki domisili elektronik/tidak setuju dipanggil elektronik.
8) Perma Nomor 8 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana di Pengadilan Secara Elektronik.
Perubahan pokok dalam substansi Perma Nomor 8 Tahun 2022 adalah mengenai pengaturan administrasi perkara pidana yang dilakukan secara terintegrasi ke dalam Sistem Informasi Perkara (SIP) dan upaya hukum banding yang dilakukan secara elektronik yang sebelumnya tidak diatur dalam Perma Nomor 4 Tahun 2020.
9) Perma Nomor 9 Tahun 2022 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2015 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan dan Kesekretariatan Peradilan.
Perma ini merupakan tindak lanjut atas terbentuknya 13 pengadilan tingkat banding yang baru di lingkungan Mahkamah Agung berdasarkan terbitnya tiga undang-undang sebagai berikut:
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2021 tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Bali, Pengadilan Tinggi Agama Papua Barat, Pengadilan Tinggi Agama Kepulauan Riau, Pengadilan Tinggi Agama Sulawesi Barat, dan Pengadilan Tinggi Agama Kalimantan Utara.
b. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Papua Barat, Pengadilan Tinggi Kepulauan Riau, Pengadilan Tinggi Sulawesi Barat, dan Pengadilan Tinggi Kalimantan Utara.
c. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Palembang, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Banjarmasin, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Mataram, dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Manado, sehingga diperlukan penyesuaian jumlah pengadilan yang ada.
Aspek integritas, dikatakan Syarifuddin, menjadi kunci dalam upaya membangun lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa, sehingga akan terus melakukan pembenahan dan perbaikan di tubuh lembaga dengan penguatan fungsi pengawasan dan pembinaan, agar ke depannya tingkat pelanggaran disiplin bisa terus berkurang.
“Oleh karena itu, saya berharap kepada rekan-rekan Jurnalis sebagai representasi publik bisa turut serta berpartisipasi dalam mengawasi kinerja aparatur di Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya. Sekaligus bisa meluruskan isu-isu negatif yang beredar di masyarakat melalui pemberitaan yang akurat, proporsional, dan berimbang,” pungkasnya. (JIMMY)