BerandaDaerahProblematika Penghapusan Jejak digital.

Problematika Penghapusan Jejak digital.

Problematika Penghapusan Jejak digital.

Oleh :Alfa Dera
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jayabaya

Sahabat Rasulullah Abu Hurairah RA dikaruniai memiliki daya ingat sangat luar biasa

Dengan memiliki daya ingat yang sangat kuat, Abu Hurairah RA, dapat dengan mudah mengingat semua detail perkataan nabi Muhammad Saw.

Bahkan, kemampuan mengingatnya tersebut dapat dipertahankan Abu Hurairah RA hingga akhir hayatnya.

Di zaman kemajuan teknologi, dalam menghadapi keterbatasan untuk mengingat terhadap suatu informasi, manusia menyiasatinya dengan menggunakan catatan, perekam digital, atau upaya lainnya.

Saat ini banyak informasi elektronik atau dokumen elektronik yang bersifat “abadi” sebagai bentuk dari “jejak digital”.

Harus diakui, mesin pencarian di Google dapat memudahkan manusia untuk mendapatkan informasi serta membantu dalam mengingat, Akan tetapi, di sisi lain dapat berpotensi membebani proses mental seseorang jika orang tersebut menginginkan “hak untuk dilupakan” atau “Right to be Forgotten” atas jejak digital masa lalu yang berisikan data pribadi dengan asumsi informasi elektronik atau jejak digital tersebut sudah tidak relevan.

Di dalam Undang-undang Privasi Perancis tahun 1978, menetapkan prinsip utama dari hak untuk dilupakan. Dengan menggambarkan tujuan hak untuk dilupakan, untuk menjadi sarana bagi subyek data dalam meminta pengontrol data agar dapat memperbaiki, melengkapi, memperbaharui, mengunci, atau melakukan penghapusan data pribadi.

“Hak untuk dilupakan” secara historis, muncul ketika seorang warga negara Spanyol bernama Mario Costeja Gonzales melayangkan gugatan terhadap surat kabar Spanyol La Vanguardia, dan Perusahaan Google dengan dalil, bahwa penelusuran atas namanya pada pencarian Google tidaklah sesuai.

Hasil pencarian dengan penelusuran di Google atas keyword namanya, memunculkan tautan peristiwa pada masa lalu, berkaitan dengan kepemilikan hutang dan berita pelelangan rumah miliknya. Padahal dirinya sudah menjalani keputusan hukum dengan melunasi hutang tersebut.

Akhirnya, Mario Costeja Gonzales mengajukan dua (2) permohonan kepada La Agencia Espanola de Proteccion de Datos atau Badan perlindungan data pribadi Spanyol.

Permohonan Pertama, meminta surat kabar La Vanguardia menghapus berita terkait dirinya yang terpaksa menjual aset karena terlilit hutang. Kedua, meminta Google Spain dan Google Inc untuk menghapus tautan terkait berita surat kabar La Vanguardia yang berisikan informasi data pribadi.

Alasannya, berita yang dimuat oleh La Vanguardia telah terjadi lebih dari satu dekade lalu dan dianggap, sudah tidak relevan dengan kondisinya sekarang. Atas permintaannya itu, pihak Google membela diri dengan berdahlil, bahwa mereka ingin menjadi platform informasi yang bersifat netral.

Maka, melalui keputusan Penetapan Agensi Perlindungan Data Spanyol menyatakan, menolak permohonan Mario Costeja Gonzales terkait permohonan surat kabar La Vanguardia untuk menghapus berita terkait dirinya yang terpaksa menjual aset karena terlilit hutang.

Sedangkan permohonan kedua Mario Costeja Gonzales oleh Agensi Perlindungan Data Spanyol dikabulkan, yakni berita Costeja di La Vanguardia tetap dapat diakses tetapi, Google harus menghapus tautan ke berita tersebut dari hasil mesin pencarinya dengan keyword nama Mario Costeja Gonzales.

Keputusan itu direspon pihak “Google” dengan tidak puas. Kasus ini kemudian dibawa hingga ke European Court of Justice “ECJ” atau Pengadilan Eropa yang membuahkan kekalahan bagi pihak Google.

Dikarenakan, di dalam pertimbangan Pengadilan Eropa dinyatakan, tetap menguatkan penetapan dari Agensi Perlindungan Data Spanyol.

Salah satu pertimbangan Pengadilan Eropa tersebut dapat dilihat dalam putusannya yang menyatakan, setiap individu memiliki hak – dalam kondisi tertentu – untuk meminta mesin pencari menghapuskan tautan yang mengandung informasi pribadi mereka.

Hal ini berlaku dimana informasi itu sudah tidak akurat, tidak lengkap, atau berlebihan dengan tujuan pengolahan data.

Lalu pada tahun 2018, Uni Eropa menerapkan General Data Protection Regulation (GDPR). Di dalam GDPR menetapkan, “Hak untuk menghapus”, serupa dengan hak yang telah diakui Mahkamah Eropa berdasarkan hukum lama yang digantikan oleh GDPR.

Berbagai literasi sejumlah negara di luar Uni Eropa juga telah menerapkan hukum yang serupa. Misalnya, pada bulan Juli 2015, Rusia mengeluarkan hukum yang memungkinkan warga negaranya menghapus link dari mesin telusur Rusia jika link tersebut dianggap “melanggar” hukum Rusia atau jika informasinya salah atau sudah tidak berlaku. Turki dan Serbia juga telah mengakui “hak untuk dilupakan” versi negara mereka masing-masing.

Dari uraian itu lalu dikenal istilah “Right to be Forgotten”. Selanjutnya, melalui GDPR istilah tersebut berdampingan dengan “Right to Erasure”. Kemudian dari keputusan tersebut menjadi bukti lahirnya kesetaraan antara individu dan penyedia layanan multinasional yang besar di mata hukum.

“HAK UNTUK DILUPAKAN” ATAU RIGHT TO BE FORGOTTEN DI INDONESIA

Menurut Pasal 26 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dikatakan,

bahwa setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

Sementara di dalam Pasal 26 disebutkan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.

Oleh karena itu, setiap orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan berdasarkan Undang-Undang ini.

Setiap penyelenggara sistem elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sudah tidak relevan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan mengenai tata cara penghapusan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dan Ayat (4), diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Ketentuan kewajiban menghapus informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak relevan di atas, tentu berkaitan dengan data pribadi .

“Hak untuk dilupakan” secara eksplisit di dalam UU ITE memang tidak disebutkan, yang ada adalah pengaturan kewajiban penyelenggara sistem elektronik wajib menghapus informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

Namun, pengaturan penghapusan ini memunculkan potensi multi tafsir kalimat “data pribadi yang tak relevan”. Apabila Putusan Hakim tidak tepat tentunya dapat berdampak terjadinya praktik pensensoran terhadap suatu informasi. Khususnya, karya jurnalistik serta berpotensi memanipulasi sejarah, atau penulisan ulang sejarah secara tidak benar.

Meskipun pensensoran atas suatu informasi sesungguhnya tidak lahir dengan adanya “hak untuk dilupakan” atau Right to be Forgotten tersebut akan tetapi, persoalan terkait penyensoran jauh sebelumnya pernah terjadi hingga menjadi pemicu lahirnya “freedom of expression”.

Ketakutan terhadap “Hak untuk dilupakan”, pernah dikomentari oleh Ketua Tim Panitia Kerja (Panja) Revisi Undang-undang (RUU) Informasi dan Transaksi Eletronik, Henry Subiakto, saat berkunjung ke Kantor Redaksi Kompas.com di Gedung Kompas Gramedia, Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, pada Rabu (30/11/2016) lalu.

“Hak untuk dilupakan” di dalam Pasal 26, diutamakan untuk situs pemberitaan Non Pers. Dikarenakan, biasanya membuat berita yang tidak bertanggungjawab dan secara identitas juga tidak jelas.

Henry Subiakto dalam pemberitaan itu menegaskan, situs pemberitaan Non Pers merasa bebas memberitakan sesuatu tanpa proses verifikasi yang mendalam sehingga berakibat, berita yang secara faktual di masa ini sudah tak relevan, bisa dimunculkan kembali oleh mereka untuk mendiskreditkan pihak tertentu.

“Itu seperti kasus di Spanyol. Ada Pengusaha yang dulu punya utang di Bank dan sudah dilunasi tapi, masih diberitakan kalau masih punya utang. Akhirnya di tahun-tahun berikutnya Pengusaha tersebut kesulitan saat meminjam uang di Bank. Makanya DPR mengusulkan pasal itu muncul,” tutur Henry Subiakto.

Lalu bagaimana dengan situs yang berlindung dengan dalil kebebasan pers tetapi, tidak mematuhi kode etik jurnalistik dalam produksi beritanya?

Ketegangan “Hak untuk dilupakan” diantara hak privacy dan kebebasan berekspresi nampaknya perlu dilihat lebih cermat. Terutama berkaitan dengan kedudukan “Hak untuk dilupakan”.

Benturan ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Berdasarkan beberapa referensi, juga terjadi di Amerika terhadap data pribadi catatan kriminal, yang dapat dengan mudah diakses pada laman internet. Selain itu, banyaknya website yang secara khusus mempublikasikan informasi kepada masyarakat mengenai catatan kejahatan yang telah, dan tengah berlangsung.

Ini merupakan wujud hak atas informasi dan menjadi perlindungan dini terhadap potensi kejahatan yang mungkin akan dihadapinya. Dari sisi jejak digital data pribadi subjek yang dipublikasikan (terdakwa, narapidana, ataupun yang telah selesai menjalani hukuman), pengungkapan tersebut dapat menyulitkannya untuk beralih dari kesalahan yang telah lama terjadi.

Hal demikian turut berimbas pada rendahnya kesempatan kerja, persoalan keuangan, kesulitan untuk menetap (tempat tinggal), dan lainnya.

Ada sejumlah potensi persoalan untuk menerapkan “Hak untuk dilupakan” apabila pelaksanaannya tidak dipandu secara terperinci dan jelas oleh peraturan. Salah satunya adalah gesekan dengan hak warga negara untuk mendapatkan informasi.

Hal itu terkait mengenai bagaimana menegakkan “Hak mendapatkan informasi” jika ada hak lain untuk menghapus informasi? Oleh karena itu dalam mengatasi multi tafsir terkait penghapusan data yang tidak relevan, informasi dan dokumen elektronik yang dimaksud perlu diperjelas lebih terperinci.

Tanpa adanya penjelasan dan pendefinisian yang jernih, karya jurnalistik dan karya ilmiah juga dapat dituntut untuk dihapus. Memang kita sudah sepatutnya menghormati privasi orang lain. Namun, sangatlah absurd dengan menugaskan orang lain untuk melupakan peristiwa yang pernah terjadi.

Sama sama kita ketahui menghalang-halangi orang untuk mengakses informasi, itu aja sudah dapat dikatakan melanggar Hak Asasi. Apalagi perbuatan menghapus informasi dan dokumen yang secara legal tidak melanggar hukum.

Meskipun begitu, di tengah kondisi “bebas” seperti sekarang ini dengan maraknya Akun atau Situs situs yang masih belum jelas dasar penggunaan data pribadi orang lain dalam pengumpulan dan penggunaan nya maka Hak untuk dilupakan” pastinya dibutuhkan sebagai pengaturan kewajiban menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang menyangkut data pribadi yang sudah tidak relevan.

Di akhir tulisan “Hak untuk dilupakan” ini meninggalkan pertanyaan, bagaimana objektivitas algoritma Google dalam merilis hasil pencariannya? (jim)

suara buana
suara buanahttps://suarabuana.com/
https://suarabuana.com/