Yogyakarta, Suarabuana.com_
Kegaduhan di dunia maya yang melibatkan utusan khusus Presiden sekaligus pendakwah kondang Gus Miftah cukup memprihatinkan banyak pihak. Perundungan di ruang publik kepada penjual es yang dilakukan oleh Gus Miftah yang dikecam banyak pihak telah mencoreng dunia dakwah di Nusantara. Islam tradisional yang kental dengan dunia toleransi tercoreng oleh sikap diskriminatif Gus Miftah.
AR Waluyo Wasis Nugroho (Gus Wal) selaku ketua umum Pejuang Nusantara Indonesia Bersatu (PNIB) memberikan tanggapannya terkait insiden yang melahirkan kemarahan publik tersebut. Menurut Gus Wal, marwah Islam tradisional yang ramah dalam menyampaikan dakwah sedang mengalami masa introspeksi.
“”Kasus merendahkan status sosial seseorang yang dianggap bisa diolok-olok bukan yang pertama terjadi. Gus Miftah hanya salah satunya, masih banyak pendakwah lain yang diskriminatif dalam menyampaikan pesan. Gaya bercanda tidak menjadi masalah jika itu dilakukan di ruang pribadi yang sudah saling mengenal. Jika itu dilakukan di mimbar dakwah sangat riskan diikuti jamaah yang menganggap etika dan adab adalah sesuatu yang tidak penting” ungkap Gus Wal saat dihubungi awak media.
Meskipun dalam perkembangan terakhir, Gus Miftah sudah meminta maaf dan menyatakan mengudurkan diri dari jabatan utusan khusus Presiden, namun masyarakat menganggap persoalan etika pendakwah yag melenceng dari kaidah Agama tidak berhenti pada Gus Miftah.
“Budaya toleransi kita sedang di titik terendah, mimbar dakwah lebih didominasi kelompok interest yang beraroma politis. Jamaah seolah diajak membenci sesuatu yang tidak disukai oleh pendakwah secara pribadi. Islam yang ramah menjadi Islam marah-marah tanpa solusi, dan itu berpotensi munculnya polarisasi yang berujung pada intoleransi serta membuat paham wahabi khilafah Terorisme semakin bertambah subur” imbuh Gus Wal.
PNIB berharap ada suatu kebijakan dari Pemerintah untuk membatasi kebebasan dakwah yang menjurus pada provokasi. Menurut Gus Wal hal tersebut penting untuk mengantisipasi kasus serupa terjadi di kemudian hari.
“Sertifikasi pendakwah menjadi hal urgent untuk dilaksanakan. Jika seorang pendakwah tidak lolos sertifikasi karena kecenderungan gaya dan latar belakang lebih banyak mudhorotnya daripada kemaslahatannya maka tidak diberikan ijin acara yang melibatkan banyak jama’ah. Pendakwah ibarat media penyiaran yang berbicara untuk publik, jika tidak diawasi maka informasi hoax dan ajakan yag berpotensi merugikan pihak lain bisa terjadi. Masyarakatlah yang jadi korban” kata Gus Wal.
Kasus Gus Miftah menjadi pelajaran berharga bagi kita tentang pentingnya nilai adab dan etika dalam berbicara. Tokoh publik yang kurang beretika akan melahirkan pengikut yang tidak jauh dari nir-etika, jika itu tidak diantisipasi maka tidak mustahil akan melahirkan perundungan lain, bahkan bisa menyuburkan paham wahabi khilafah yang merupakan sumber bibit tunas lahirnya Intoleransi, Radikalisme, Separatisme Terorisme. Meskipun tidak viral namun dampak kerusakannya massiv terkait akhlak, kasus Gus Miftah ini akan diingat ingat dalam benak masyarkat dalam waktu yang lama bahkan sepanjang hidup, sama halnya seperti Masyarakat Indonesia tak akan mudah lupa dengan tabiat Abdul Somad, Haikal Hasan, Rizieq Shihab dan Bahar Bin smith juga bisa jadi akan terus terngiang seperti tatkala amien rais melengserkan Gus Dur sebagai presiden, Mungkin Gus Miftah Sudah minta maaf kepada sunhaji, begitu pula sebagian masyarakat juga sudah memaafkannya namun akan tetap mengingatnya tanpa melupakanya sepanjang hidup, pungkas Gus Wal. (AGUNG)