BerandaOpini"Penyelesaian Sampah di Depok: Gimik, Retorika, atau Komitmen Nyata?"

“Penyelesaian Sampah di Depok: Gimik, Retorika, atau Komitmen Nyata?”

Oleh: Joko Warihnyo
(Pemimpin Redaksi- tribundepok.com)

Dibalik tumpukan sampah yang terus membubung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipayung, Kota Depok, mengendap pula persoalan pelik. Apakah penanganan sampah di kota ini sungguh-sungguh dijalankan dengan niat membenahi, atau sekadar gimik dan retorika politik belaka?

Kota Depok yang dihuni lebih dari 2,1 juta jiwa, memproduksi sekitar 1.265 ton sampah per hari. Ironisnya, 80 persen di antaranya sekitar 900 hingga 1.000 ton berakhir di TPA Cipayung. Selebihnya diolah oleh Unit Pengolahan Sampah (UPS) dan bank sampah yang tersebar di berbagai kecamatan. Namun, pengolahan itu masih jauh dari ideal.

Realita di lapangan memperlihatkan, bahwa; pemilahan dan pengolahan belum berjalan maksimal. Sementara TPA Cipayung, kian sesak menampung beban.

Retorika yang disampaikan Pemkot Depok, soal berbagai program penanganan sampah kerap terdengar menjanjikan. Optimalisasi UPS, pengadaan armada baru, penegakan Perda, hingga wacana pemindahan pembuangan ke TPPAS Lulut-Nambo semuanya diklaim sebagai bentuk keseriusan. Tapi kenyataan, menunjukkan adanya inkonsistensi dan tarik-ulur kebijakan.

Pemkot Depok bahkan telah menyiapkan anggaran, untuk membuang sampah ke TPPAS Nambo di Klapanunggal, Bogor. Namun, hingga kini, TPPAS tersebut justru belum siap menampung sampah dari Depok. Alhasil, semua kembali ke titik awal, menumpuk di Cipayung.

Sementara warga Depok menunggu solusi nyata, pemerintah justru seakan membuang tanggung jawab ke pihak lain. Sikap seperti ini tentu menimbulkan pertanyaan, sejauh mana koordinasi lintas wilayah dan keseriusan pengelolaan terpadu dijalankan?

Kegagapan lain yang mencuat, adalah; persoalan insinerator. Mesin pembakar sampah yang sempat dipuji-puji Wali Kota Supian Suri, kini justru menjadi sumber polemik. Setelah warga Abadijaya, Sukmajaya, melakukan protes karena dampak kesehatan yang ditimbulkan. Sehingga, dua unit insinerator itu pun dinonaktifkan sementara.

Bahkan, opsi relokasi sedang dikaji ulang. Di satu sisi, Pemkot Depok berbicara soal inovasi teknologi tanpa residu seperti yang mereka saksikan di Banyumas. Di sisi lain, tidak ada transparansi dan pelibatan publik yang memadai sebelum implementasi dilakukan.

Pengelolaan sampah seharusnya menjadi isu serius, bukan komoditas politik atau proyek coba-coba. Sayangnya, dari serangkaian kebijakan yang terkesan tambal sulam dan reaktif itu, tercium aroma kurangnya kemauan politik dan konsistensi kebijakan jangka panjang.

Masalah sampah bukan hanya soal tumpukan limbah, tapi juga menyangkut perencanaan, SDM, pengawasan, hingga budaya warga yang harus dibina secara berkelanjutan.

Warga Depok berhak mendapat kejelasan, bukan kebingungan akibat komunikasi publik yang simpang siur. Mereka berhak mengetahui, kemana anggaran miliaran rupiah itu dialokasikan dan mengapa sampai kini belum ada sistem pengelolaan sampah yang efektif, efisien, dan berkeadilan lingkungan.

Kini, saat tong-tong sampah meluber dan jalanan menyimpan bau busuk, publik pun dibuat bertanya-tanya. Apakah janji-janji penyelesaian ini, hanya sekadar retorika yang dikemas manis? Ataukah, kita sedang menyaksikan babak panjang drama kebijakan tanpa ujung yang pasti?!

Jika pemerintah ingin dipercaya, tak cukup hanya dengan merilis data dan menyebutkan program. Karena, yang dibutuhkan adalah keberanian membuat terobosan, konsistensi menjalankan kebijakan, dan keterbukaan terhadap kritik warga.

Tanpa itu semua, penanganan sampah di Depok akan terus berputar ditempat. Sementara, wacana penyelesaiannya tak lebih dari sekadar gimik.(FC-G65/MPD)

suara buana
suara buanahttps://suarabuana.com/
https://suarabuana.com/