Jakarta, SUARABUANA.com – Ada wisata belanja, wisata alam, wisata budaya dan wisata sejarah serta wisata spiritual. Maka candi Borobudur itu kalau hendak dikomersialkan sebagai obyek wisata yang lebih besar agar dapat mendulang devisa bagi negara, sebaiknya dikembangkan menjadi wisata spiritual.
Wisata alam umumnya sudah kurang menarik, kecuali hanya bagi keluarga yang kurang beruntung saja. Lalu wisata sejarah dan budaya, pun tidak lagi begitu diidolakan, kecuali bagi mereka yang ingin melakukan kajian, resech dan keperluan ilmiah saja yang di Indonesia — bahkan di dunia — selalu tak punya cukup dana.
Jadi yang lebih menarik dan unik karena memiliki daya tarik itu dan bisa diharap bisa mendulang duit yang banyak adalah wisata spiritual dengan memaksimalkan sejumlah tempat peribadatan seperti Candi yang bisa dikunjungi oleh masyarakat Buddha se dunia. Hingga pada akhirnya, sejumlah Candi yang ada di Indonesia bisa hidup untuk dapat dijadikan semacam magnit penyedot — seperti Ka’bah di Mekkah — yang akan terus dikunjungi ummat Islam tanpa hirau dengan biaya segede apapun yang harus dikeluarkan.
Kompleks percandian bagi umat beragama Hindu dan Buddhs akan menjafi daya tarik untuk terus berdatangan dari delapan penjuru mata angin. Contohnya seperti umat Islam yang terus berdatangan ke Makkah. Bahkan cenderung ingin melakukannya berulang kali bila mekiliki kesempatan dan kemampuan.
Candi Muara Takus dan Muara Bungo yang ada di Sumatra itu sungguh dapat dipercaya pernah menjadi pusat belajar tentang seluk beluk Hindun dan Buddha di dunia. Atas dasar Itu juga sangat meyakinkan sekali percandian tersebut sebagai pertanda dari pusat agama Buddha pernah ada di Nusantara. Sejarah mencatat di Sumatra pada masa Kerajaan Sriwijata berjaya pernah menjadi semacam kiblat bagi umat Buddha se dunia. Jadi jelas nilai lebih maupun nilai-nilai spiritual serta keunikan lain yang ditandai oleh kompleks percandian di Nusantara ini, memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi secara fisik candi di Sumatra itu terbuat dari batu bata merah seperti yang ada di Komplek percandian yang ada di Karawang, Jawa Barat.
Artinya, kalau model wisata spiritual seperti itu yang hendak dikembangkan, Indonesia atau Nusantara akan menjadi pilihan ideal bagi siapa saja yang gemar dengan wisata spiritual. Lebih dari itu ongkos pengelolaannya pun relatif lebih murah dan gampang. Sebab ummat yang akan berdatangan itu kelak, dapat dipastikan memiliki etika ketertiban yang lebih santun dan dapat ikut menenteramkan hati masyarkat dan lingkungan setempat.
Sungguh, candi Muara Takus dan Candi Muara Jambi tidak kalah menarik dan unik, setidaknya dapat dibandingkan dengan situs budaya dan sejarah lainnya yang sungguh mengagumkan Karena dari masing-masing candi tersebut memiliki keunikan dan keistimewaan tersendiri.
Jadi kalau semangat dalam upaya hendak menata kawasan Wisata Candi Botobudur, Prambanan dan Candi Ratu Boko itu adalah untuk melestarikan situs bernilai sejarah dan budaya bangsa, maka atas rasa tanggung jawab dan kepedulian untuk melestarikan situs bernilai sejarah bangsa Nusantara ini jelas menandai masa jaya yang pernah digampai pada masa lalu. Lantas mengapa justru kompleks percandian lainnya di Indonesia tidak juga hendak diopeni ?
Jadi kalau cuma mengurus barang yang sudah relatif baik terpelihara seperti Candi Borobudur, Perambanan dan Candi Ratu Boko itu, memang tidak akan terlalu sulit ketimbang mengurus candi lainnya yang sesungguhnya bisa memberi alterbatif tawar agar semua beban wisata tak cuma bertumpu di Candi Borobudur dan candi lainnya yang sudah relatif baik dan bagus ditata, dibanding dengan kompleks percandian lain yang belum sama sekali tersentuh.
Kawasan wisata Candi Borobudur yang terletak di perbukitan Manoreh, berbatasan dengan Kabupaten Kulonprogo, Provinsi DI Yogyajarta, dan Kabupaten Purworejo, serta Kabupaten Magelang, Jawa Tengah hanya berada dalam kawasan 309 hektar itu kini terkesan menjadi unggulan untuk meraup devisa melalui tarif masuk dan tarif naik ke atas Candi Borobudur. Sementara untuk Candi lainnya — terutama yang masuk dalam satu pengelolaan oleh PT. Taman Wisata Candi Borobudur, Perbanan dan Candi Ratu Boko Persero yang berada di bawah BUMN, tidak jelas rincian rencana dan penataannya.
Sedangkan kompleks percandian di Sumatra itu nyaris mencapai 40 ribu hektar luas lahannya yang ada.
Jadi, idep-idep semacam upaya serius untuk pemerataan pembangunan, ada baiknya konsentrasi renovasi atau semacam upaya pembenahan dan pengembangan serta upaya pemeliharaan terhadap seluruh peninggalan sejarah masa lampau suku bangsa Nusantara itu hendaknya mendapat perlakuan yang adil dan.metata juga.
Uniknya, komando untuk membenahi kawasan wisata ini langsung dilakukan oleh Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang juga dikenal sebagai komandan dari pengendali pandemi Covid-19 dan seabrek jabatan penting lainnya.
Menko Luhut pun menginformasikan bahwa penataan kompleks wisata Candi Borobudur itu sebagai upaya untuk membatasi pengunjung dengan cara menerapkan tarif baru untuk tiket masuk dan tiket naik ke atas Candi.
Untuk wisarawan lokal tiket masuk Rp. 50.000 dan untuk naik ke atas candi dikenakan tarif Rp. 750.000. Sedangkan untuk turis asing dikenakan tarif masuk Rp. 350.000 dan untuk naik ke aras Candi dikenakan harga tiket 100 dollas AS atau setara dengan Rp. 1.443.000 dalam kurs dollar Rp 14.000.
Khusus untuk anak-anak usia 3-10 tahun hanya dikenakan tarif Rp 25.000. Sedangkan bagi para pelajar dan mahasiswa cuma dikenakan tarif tiket Rp. 5.000.
Kecuali itu, wisatawan yang masuk ke Candi Borobudur pun diwajibkan memakai jasa pemandu wisata yang dilakukan oleh warga setempat. Namun, tidak dijelaskan berapa tarif yang harus dibayar untuk para pemandu wisata yang dijanjikan pada warga masyarakat setempat itu.
Selain tidak jelas berapa biaya yang harus dibayar untuk pemandu wisara ini, apakah aturan baru untuk Candi Borobudur ini juga berlaku untuk Candi Prambanan dan Candi Ratu Boko yang berada pada satu atap perusahaan yang mengelolanya ?
Yang pasti, kata Luhut Binsar Pandjaitan, langkah ini dilakukan semata-mata untuk menjaga kelestarian kekayaan sejarah dan budaya Nusantara, tandasnya. Sehingga rasa tanggung jawab untuk merawat dan melesrarikan salah satu situs sejarah Nusantara bisa terus bilakukan dan terpelihara untuk kesinambungan bagi generasi mendatang.
Kecuali itu, aturan pelayanan untuk Candi Borobudur akan dibatasi hanya mulai pukul 08.00 hingga pukul 16.00. Dan jumlah wisatawan yang boleh naik je atas Cabdi pun dibatasi hanya sebanyaj 1.200 orang per hari. Jadi jelas untuk acara yang bersifat sakral dan spiritual, tidak mungkin dapat dilakukan pada malam hari, seperti pada waktu sebelum adanya aturan baru ini.
Jadi apapun dalihnya, kesan utama dari tujuan komersial menata kompleks Candi Borobudur, Prambanan dan Candi Ratu Boko ini sungguh lebih meyakinkan sifat komersialnya bagi banyak orang. Padahal, sebagai situs peninggalan sejarah, Candi Borobudur ini pantas dibuka lebih leluasa sebagai obyek pembelajaran nilai-nilai luhur dan ilmu pengetahuan serta pencerapan dari keindahan seni arsitektur yang terkandung di dalamnya.
Apalagi situs sejenis Candi pasti mempunyai nilai-nilainya yang ritual dan bersifat spiritual dari keyakinan dan keagamaan yang patut mendapat perlakuan khusus, tidak sekehendak hati membuat aturan dan larangan yang bisa menghambat banyak orang ingin melakukan keperluan spiritual yang diyakininya.
Demikian pula sebaliknya, jika kelak Candi Borobudur dan csndi lainnya telah menjadi tempat upacara keagamaan, pun tidak boleh mengurangi kebebasan masyarakat umum lainnya untuk berkunjung guna mengudar rasa kejiwaannya agar nyaman dan aman hingga dapat memperoleh inspirasi positif guna bekerja dan berkaya lebih serius hingga menghasilkan karya indah dan luhur seperti candi yang ada di negeri kita ini.
Yang tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah, jangan sampai hasrat mengkomersialkan kompleks percandian yang ada di negeri kita ini jadi menggerus nilai-nilainya yang sakral. Sebab keindahan dan
keunikan candi dan sejenisnya itu sesungguhnya ada pada nilainya yang sakral dan bersifat spiritual. Jika tidak, maka keberadaan bisa jadi tidak lengkap, karena nilai-nilai yang sakral dan spiritual itu menjadi semacam ruh dan jiwa dari kehidupannya.(JE)