SUARABUANA.com – Perubahan geopolitik global berlangsung cepat, polarisasi kekuatan baru dunia melahirkan percepatan perubahan disegala bidang, situasi dunia saat ini penuh dengan ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas. Untuk menggambarkan kondisi tersebut kita ambil contoh dari bingkai konflik Ukraina dan Rusi.
Konflik Rusia dan Ukraina akan lebih menarik bila dilihat dari berbagai hal yang menjadi latar belakangnya, semua diawali dari runtuhnya Uni Soviet di era 91 atau era pasca perang dingin. Ukraina secara historis merupakan wilayah tinggal berberbagai suku bangsa seperti Polandia, Lithuania, Austria-Hungaria, dan Rusia. Pada abad pertengahan, wilayah ini merupakan bagian dari negara Slavia Timur, dan pada abad ke-18 dan ke-19, sebagian besar wilayah Ukraina berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Rusia yang runtuh setelah Revolusi Bolshevik kaum komunis tahun 1917. Pada saat itu Ukraina mendeklarasikan kemerdekaan yang sangat singkat karena memilih menjadi bagian dari Uni Soviet dengan nama Republik Sosialis Soviet Ukraina sampai tanggal 24 Agustus 1991 Ukraina merdeka dan menyatakan lepas dari Uni Soviet. Rusia adalah Kekaisaran terbesar dunia yang terakhir dan diruntuhkan oleh kaum revolusioner komunis dan kaum revolusioner membangun sebuah United Socialist Soviet Republic (USSR) dengan menarik beberapa negara untuk masuk kedalam Uni tersebut termasuk Ukraina. Ketika Uni Soviet runtuh sebenarnya ada upaya elite politik USSR untuk mencoba merekonstruksi kekuatan Soviet dalam bentuk ikatan yang lebih longgar konfederasi negara-negara merdeka Rusia atau Confederation Of Indepedence State (CIS), ada yang loyal bergabung seperti negara Asia Tengah, diantaranya Uzbekistan, Kazakhstan, Armenia, Azerbaijan, ada yang menolak negara seperti negara-negara baltik diantaranya Lithuania dan Estonia yang lebih memilih bergabung dengan Uni Eropa, hal tersebut menginspirasi negara-negara pecahan Uni Soviet maupun negara-negara satelit yang tergabung dalam Pakta Warsawa, seperti Polandia, Ukraina, Georgia, Rumania, Bulgaria, Czechoslovakia. Hal tersebut dibaca oleh Rusia sebagai upaya NATO atau Amerika dan sekutunya. Uni Eropa berupaya untuk melemahkan dan menghancurkan Rusia dan konfederasinya artinya Rusia dianggap sebagai ancaman. Sinyal genderang perang sudah terang benderang bagi Rusia maka reaksinya adalah dengan mempertahankan buffer zone atau buffer state antara Rusia dan Eropa Barat. Konflik Rusia dan Ukraina tidak terlepas dari konflik warisan sejarah masa lalu di era perang dingin, antara blok Barat yang tergabung dalam North Atlantic Threat Organization (NATO) ada Amerika dan beberapa negara Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa di satu sisi dan sisi lain ada blok Timur dengan Uni Soviet dan beberapa negara Eropa Timur serta negara-negara Baltik yang tergabung dalam Pakta Warsawa. Sejatinya runtuhnya Uni Soviet yang diikuti bubarnya Pakta Warsawa, hubungan Rusia dengan blok Barat membaik, akan tetapi pada tahun 1994 Rusia menganggap NATO.
Risia memang menjadi pewaris seluruh atribut kenegaraan Soviet beserta aset-aset, sumber daya alam, senjata nuklir, bahkan utang negara USSR yang tidak sedikit. Rusia menggantikan seluruh kedudukan dalam kelembagaan internasional termasuk sebagai anggota tetap dewan Keamanan PBB dengan hak veto yang dimiliki hanya lima negara yaitu Amerika, Inggris, Perancis, Cina dan .
Transisi penting adalah era setelah Gorbachev yaitu Boris Yeltsin yang tidak mampu berbuat banyak dan pada 7 Mei 2012 Vladimir Putin menjadi presiden yang dianggap mampu merekonstruksi kekuatan negaranya hingga sekarang. Putin sebelumnya menjadi perdana menteri dari 1999 sampai 2000, Presiden dari 2000 sampai 2008, dan kembali menjadi perdana menteri dari 2008 sampai 2012 hal ini menunjukkan soliditas politik yang dibangun untuk menciptakan stabilitas negara, walaupun pihak barat menilainya sebagai langkah yang tidak demokratis. Vladimir Putin presiden yang cerdas. Mantan anggota senior di KGB mampu membaca geopolitik dengan baik, Putin tahu persis mengapa dulu Uni Soviet hancur, apa penyebabnya dan bagaimana merekonstruksinya. Apa yang dilakukan Putin hari ini adalah langkah realistis untuk melindungi kepentingan nasional Rusia dan konfederasinya. Aneksasi Rusia terhadap wilayah Ukraina sebenarnya langkah yang sama dilakukan sebelumnya terhadap Georgia, ketika negara bekas Uni Soviet tersebut mau bergabung dengan Uni Eropa, Rusia tidak akan membiarkan buffer zone dijebol dikarenakan bergabungnya negara-negara eks Soviet terutama yang berbatasan langsung dengan Rusia akan dianggap ancaman serius. Buffer zone yang pertama dianeksasi adalah Crimea dan Donbass dengan memanfaatkan isu mayoritas suku bangsa Rusia yang memberontak terhadap Ukrania. Crimea adalah pintu gerbang check point kekuatan maritim Rusia di laut Hitam yang tembus ke laut Mediteranean melalui selat Bosphorus, sangat strategis sebagai akses perdagangan, explorasi energi fosil dan pariwisata dianeksasi pada tahun 2014, lalu wilayah Donbass, Donetsk, Kerson dan mulai coba-coba memprovokasi wilayah Baltik dan Skandinavia.
Untuk itu Putin memanfaatkan segala sumber daya untuk dijadikan kekuatan posisi tawar dalam diplomasi pertahanan. Langkah Eropa yang melakukan isolasi terhadap Rusia yang dibalas Rusia dengan menutup pasokan gas dan minyak bumi ke Eropa dengan menghitung Momentum ketika Eropa sedang krisis pasokan. Kita tahu bahwa 30-40℅ pasokan gas Eropa dari Rusia. Rusia membuka pasar baru dengan negara-negara BRICS. Pertanyaan menarik apakah BRICS merupakan instrumen yang dibangun Rusia untuk poros ekonomi alternatif BRICS mengusung kesetaraan bukan dominasi dan paksaan seperti yang dilakukan Barat selama ini. Mengingat keanggotaan BRICS saat ini ada Brasilia, Rusia, India, Cina, South African, Somalia, Iran, Mesir, Uni Emirat Arab dan Indonesia. Rusia menciptakan perang jangka panjang di Ukraina dengan memperluas konflik serta mengatur ritme peperangan, dengan tujuan untuk menguras sumber daya Barat, Rusia juga berkontribusi aktif memperkuat konflik di timur tengah dengan menyuplai teknologi persenjatan melalui Iran, Houthi, Hisbullah dan Hamas. Efek domino yang ditimbulkan besar, karena fokus Amerika menjadi terpecah, sehingga merangsang konflik lain seperti Cina yang ikut meramaikan situasi dengan rencana aneksasi Taiwan sebagai Sekutu dekat Amerika serta memperkuat klaim di laut Cina Selatan.
Dati segi ekonomi kekuatan Barat kian melemah, perang Ukraina telah menyedot dana besar ditambah bantuan untuk konflik Israel-Palestina yang tiada henti. Kepanikan terjadi ketika muncul isu penggantian US $ sebagai alat tukar bagi anggota BRICS, jelas ini menjadi ancaman serius terhadap dominasi Barat. Maka berbagai ancaman dilontarkan Amerika dari mulai perang tarif hingga embargo ekonomi. Presiden terpilih Amerika Donald Trump yang penuh kontroversi, ditengah krisis keuangan negara, Trump sering melontarkan isu-isu yang patut dicermati dengan serius, seperti aneksasi Green Land yang melemahkan kepercayaan para Sekutu Amerika, ancaman keluarnya Amerika dari lembaga-lembaga internasional yang selama ini didanai dan dianggap pemborosan karena kontribusinya yang tidak signifikan terhadap kepentingan nasional Amerika. Yang menarik adalah kedekatan Donald Trump dengan Vladimir Putin, banyak yang menganalisa akan terjadinya perbaikan hubungan antara Barat dan Rusia, artinya akan ada perubahan geopolitik baru, dalam konflik resolusi Ukraina Trump menyerukan penggantian rezim Presiden Zalensky, dan isyarat perdamaian di Gaza walau dengan memindahkan penduduk dan menguasai Gaza sulit diterima akal sehat. Tidak salah pendapat Kessinger pakar Analis stratehic CIA “jadi musuh Amerika adalah berbahaya dan jadi teman Amerika adalah fatal”, perubahan geopolitik global sangat kompleks dan saling kait mengkait, seperti menyusun puzzle masa depan yang masih penuh misteri akan seperti apa situasi esok hari? Bagi Indonesia kehadiran pemimpin negara selalu tepat pada waktunya, seperti Sukarno seorang orator yang mampu membakar semangat militansi rakyat di masa perang kemerdekaan, Suharto yang tenang dan fokus membangun kesejahteraan dan seterusnya dan hari ini Prabowo Subianto yang berani melakukan terobosan-terobosan besar tidak hanya didalam lingkup nasional tapi juga di kancah politik global, semoga mampu membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa Besar yang disegani, Adil Makmur, Berdaulat, dan Bermartabat.
Teori pertahanan dalam perspektif realisme berfokus pada kepentingan negara, keseimbangan kekuatan, dan penggunaan kekuatan militer untuk menjamin keamanan nasional. Realisme melihat bahwa dalam sistem internasional yang anarki (tanpa otoritas pusat), negara-negara harus mengandalkan diri sendiri untuk bertahan.
Oleh : DKS. Nugraha
Ditulis pada 22 Desember 2025