BerandaOpiniMantan Hakim Terpidana Korupsi Jadi ASN: Rehabilitasi atau Degradasi...

Mantan Hakim Terpidana Korupsi Jadi ASN: Rehabilitasi atau Degradasi Hukum

Suarabuana.com Mahkamah Agung (MA) baru saja memperingati 80 Tahun berdirinya dengan tagline “Peradilan Bermartabat – Negara Berdaulat”, resmi mengangkat kembali Itong Isnaeni Hidayat, mantan hakim PN Surabaya yang divonis 5 tahun penjara karena terbukti menerima suap, sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di PN Surabaya. Keputusan ini langsung menimbulkan tanda tanya besar: bagaimana mungkin seorang terpidana korupsi, apalagi hakim, bisa kembali diberi ruang dalam institusi peradilan bahkan di tempat dulu bertugas dan melakukan korupsi?

Pertentangan Aturan

Menurut UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dan PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, salah satu syarat menjadi ASN adalah tidak pernah dipidana penjara dua tahun atau lebih. Faktanya, Itong terbukti bersalah dalam kasus korupsi dan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara. Dengan dasar hukum ini saja, pengangkatannya sudah menimbulkan kontradiksi serius.

Korupsi: Luka dalam Tubuh Peradilan

Kasus Itong bukan pelanggaran kecil. Ia ditangkap tangan KPK menerima suap untuk mengatur putusan perkara. Majelis Kehormatan Hakim juga menegaskan bahwa perbuatannya mencederai marwah kehakiman dan melanggar kode etik secara berat. Ketika seorang hakim—simbol keadilan—terjerat korupsi, maka yang dikhianati bukan hanya hukum, tetapi juga kepercayaan publik.

Pesan Buruk untuk Publik

Keputusan MA ini menimbulkan dampak berlapis:
Bagi hukum: aturan yang jelas seakan bisa ditafsir ulang demi memberi ruang pada pelanggar.
Bagi masyarakat: kepercayaan pada peradilan semakin runtuh. Jika mantan koruptor bisa kembali ke pengadilan, apa artinya integritas hukum?
Bagi aparat internal: pesan yang muncul justru berbahaya—bahwa pelanggaran berat pun masih bisa “dimaafkan” dengan jabatan baru.

Integritas Bukan Barang Murah

Pengadilan seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan. Namun, ketika mantan hakim koruptor kembali diangkat sebagai ASN, benteng itu retak. Apa yang semestinya jadi momentum memperkuat integritas justru berubah menjadi preseden buruk.
Masyarakat berhak bertanya: apakah ini bentuk “rehabilitasi” yang dimaksud, atau justru tamparan keras bagi upaya pemberantasan korupsi di negeri ini?

Penutup

Integritas adalah syarat mutlak penegakan hukum. Tanpa integritas, hukum hanya jadi prosedur kosong yang bisa ditransaksikan. Jika lembaga setinggi MA mengabaikan aturan dan etika, maka pesan yang sampai ke publik jelas: perang melawan korupsi tidak pernah serius.

Dan ketika krisis kepercayaan masyarakat pada martabat pengadilan, itu artinya kita sedang kehilangan salah satu pilar terpenting dalam penegakan hukum dan kedaulatan negara hukum.

Demikian

Timbul Priyadi
Praktisi Hukum dan Pemerhati Peradilan

suara buana
suara buanahttps://suarabuana.com/
https://suarabuana.com/