Lempuing Jaya (OKI), SUARABUANA.com – Deni Kusnindar, seorang petani plasma di Desa Tanjung Sari I, Kecamatan Lempuing Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, menuntut keadilan. Ia mengaku tidak menerima hasil dari kebun plasma yang dikelola oleh Koperasi Unit Desa (KUD) Tanjung Mesayu sejak tahun 2015.
KUD Tanjung Mesayu, yang dibentuk pada tahun 2009, merupakan mitra petani dalam program kemitraan plasma dengan PT Mutiara Bunda Jaya (Sampoerna Agro), sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit. Dalam program ini, petani menyerahkan lahan mereka untuk dikelola oleh perusahaan dengan sistem bagi hasil.
“Sudah hampir sepuluh tahun saya tidak menerima sepeser pun hasil dari kebun plasma,” ungkap Deni dengan nada getir. “Padahal, awalnya kami dijanjikan kesejahteraan.”
Kekecewaan Deni memuncak hingga ia melaporkan dugaan penggelapan ini ke Polres OKI pada Oktober 2023. Dalam laporannya, Deni menuding Ismail Saleh, Ketua KUD Tanjung Mesayu, telah menggelapkan uang hasil kebun plasma miliknya dan petani lainnya.
Namun, setahun berselang, Polres OKI mengeluarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) yang menyatakan bahwa penyelidikan dihentikan. Alasannya, berdasarkan hasil gelar perkara, tidak ditemukan peristiwa pidana.
Dengan di keluarkannya SP2HP dari pihak kepolisian Ogan komering ilir , Deni sangat kecewa , karna menurutnya sudah cukup bukti untuk di lanjutkan ke ranah hukum.Dalam SP2HP tersebut, polisi menyatakan bahwa uang gaji plasma masih ada di penampungan milik KUD dan penampungan milik perusahaan. Namun, pernyataan ini dibantah oleh Deni.
“Bagaimana mungkin uang itu masih ada? Kami tidak pernah menerima uang itu selama bertahun-tahun!” protes Deni.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas KUD Tanjung Mesayu dalam mengelola hasil kebun plasma. Beberapa petani mengaku tidak pernah mendapatkan penjelasan yang detail mengenai sistem bagi hasil. Ada pula dugaan manipulasi data produksi dan luas lahan plasma oleh pihak KUD.
Hingga kini, nasib Deni dan petani plasma lainnya masih terkatung-katung. Mereka menuntut keadilan dan berharap agar hak-hak mereka dapat dipenuhi.
“Kami hanya ingin hak kami kembali,” tegas Deni. “Kami tidak akan berhenti berjuang.”
Kasus ini menjadi sorotan bagi pentingnya pengawasan dan pendampingan terhadap petani plasma, terutama dalam hal transparansi pengelolaan keuangan dan pembagian hasil panen. Diperlukan upaya untuk melindungi hak-hak petani dan mencegah terjadinya praktik-praktik yang merugikan mereka. ( RIL/FUADI)