Oleh : Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.
SURABAYA, – SUARABUANA.com –
Rencana reklamasi pesisir timur Surabaya, melalui proyek Surabaya Waterfront Land (SWL), menuai polemik besar di kalangan masyarakat. Proyek yang diklaim sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) ini, dikerjakan oleh PT Granting Jaya dengan nilai investasi mencapai Rp.72 triliun. Namun, alih-alih membawa kesejahteraan, proyek ini justru mendapat penolakan keras dari masyarakat pesisir dan berbagai pihak karena dianggap berpotensi merusak lingkungan serta melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Puncak penolakan terjadi dalam sosialisasi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), yang diselenggarakan di sebuah hotel di Surabaya. Acara ini berujung ricuh, setelah panitia tidak mengundang masyarakat terdampak, termasuk nelayan dan petani tambak. Ketika mereka mencoba memasuki ruangan untuk menyampaikan aspirasi, mereka justru dihadang oleh petugas keamanan dan panitia, sehingga terjadi bentrokan.
Heroe Budiarto, Koordinator Forum Masyarakat Madani Maritim (FMMM), mengutuk keras tindakan panitia yang tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
“Sosialisasi seperti ini seharusnya dilakukan secara terbuka dan mengakomodasi semua pihak yang terdampak, bukan hanya mereka yang berkepentingan dengan proyek ini,” ujarnya.
Sejumlah aturan yang diduga dilanggar dalam proyek ini antara lain :
1. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
– Pasal 26 Ayat (1): “Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan wajib memiliki AMDAL yang melibatkan masyarakat secara aktif.”
– Pasal 67: “Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.”
– Dugaan pelanggaran: Proses AMDAL tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat pesisir sebagai pihak terdampak utama.
2. Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
• Pasal 34 Ayat (3): “Masyarakat berhak memperoleh informasi mengenai rencana usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan.”
• Dugaan pelanggaran: Masyarakat pesisir dilarang menghadiri sosialisasi proyek, yang seharusnya mereka ikuti.
3. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;
• Pasal 35: “Reklamasi yang dilakukan di wilayah pesisir harus mempertimbangkan keseimbangan ekosistem dan tidak merugikan masyarakat pesisir.”
• Dugaan pelanggaran: Reklamasi ini berpotensi menghilangkan lahan mata pencaharian nelayan dan meningkatkan risiko banjir.
4. Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam;
• Pasal 10: “Negara wajib menjamin keberlanjutan mata pencaharian nelayan dan memberikan perlindungan dari dampak kebijakan yang merugikan mereka.”
• Dugaan pelanggaran: Proyek SWL akan menghilangkan kawasan tangkap ikan nelayan tradisional.
5. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA);
• Pasal 6: “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.”
• Dugaan pelanggaran: Proyek ini mengancam hak masyarakat atas tanah pesisir yang mereka tempati dan manfaatkan secara turun-temurun.
Ancaman Lingkungan dan Dampak Sosial:
Para ahli lingkungan mengkhawatirkan bahwa proyek ini akan merusak ekosistem pesisir, mempercepat abrasi, serta memperburuk kondisi banjir di Surabaya. Beberapa pakar juga menilai bahwa proyek ini lebih menguntungkan pengembang properti ketimbang masyarakat sekitar.
Selain itu, dampak sosialnya tidak kalah serius. Ribuan nelayan dan petani tambak berisiko kehilangan mata pencaharian mereka. Salah seorang nelayan, Rojali (52), mengungkapkan kekhawatirannya.
“Kami ini hanya rakyat kecil. Laut ini tempat kami mencari makan turun-temurun. Kalau laut ditutup buat reklamasi, kami mau kerja apa?” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Semangat Bela Negara; Menjaga Kedaulatan Maritim InIndonesia. Kasus ini bukan hanya soal lingkungan dan ekonomi, tetapi juga tentang kedaulatan bangsa atas sumber daya alamnya sendiri. Jika proyek ini dibiarkan berlanjut tanpa evaluasi dan keterlibatan masyarakat, bukan tidak mungkin aset negara diwilayah pesisir akan semakin dikuasai oleh korporasi besar yang hanya mengejar keuntungan.
Masyarakat harus bersatu dalam semangat “Bela Negara” untuk menolak kebijakan yang merugikan rakyat. Negara ini dibangun atas dasar keadilan sosial, bukan untuk menguntungkan segelintir elit dan investor yang mengabaikan kepentingan rakyat kecil.
“Bela Negara” bukan hanya soal angkat senjata, tetapi juga perjuangan mempertahankan tanah air dari eksploitasi dan kesewenang-wenangan.
Jika rakyat tidak bersuara, maka kelak pesisir negeri ini akan dikuasai oleh asing dan oligarki, sementara rakyat sendiri menjadi tamu di tanahnya sendiri.
Oleh karena itu, seluruh masyarakat Indonesia harus mengawal kasus ini. Jangan sampai proyek reklamasi seperti ini terus berlanjut tanpa pertanggung-jawaban yang jelas. Keadilan harus ditegakkan, hukum harus ditegakkan, dan rakyat harus dilindungi! (FC-G65)