Depok, suarabuana.com – Presiden Joko Widodo pada tanggal 13 April 2021 menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Peraturan Pemerintah (PP) tersebut mulai berlaku mulai tanggal 14 April 2021, terdapat dua poin pertimbangan yang menjadi dasar untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) ini, yakni karena semakin berkembangnya layanan jasa keuangan berbasis teknologi informasi yang dapat digunakan sebagai sarana oleh pelaku tindak pidana untuk melakukan pencucian uang hasil tindak pidana, dan untuk melindungi penyelenggara layanan jasa keuangan dari risiko tindak pidana pencucian uang.
Selain itu dalam bagian menimbang juga dinyatakan bahwa transaksi yang dilakukan oleh profesi (salah satunya Advokat) untuk kepentingan pengguna jasa (klien advokat) yang diketahui patut diduga menggunakan harta hasil tindak pidana perlu dilaporkan sebagai transaksi keuangan mencurigakan. Kewajiban profesi untuk melaporkan transaksi keuangan kepada PPATK karena terjadi perkembangan Modus operandi yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana pencucian uang seperti melakukan penyalahgunaan atau pemanfaatan profesi yakni terhadap profesi Advokat, Notaris, pejabat pembuat akta tanah, akuntan, akuntan publik, dan perencana keuangan sebagai media tindak pidana pencucian uang.
Berlakunya PP No. 61 Tahun 2021 yang mewajibkan Advokat untuk melaporkan transaksi keuangannya ke PPATK membuat Ketua Bidang Organisasi Keanggotaan dan Kaderisasi Dr. (C) Tasrif MS., SH., MH. angkat bicara, menurutnya profesi Advokat merupakan profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggungjawab dalam menegakkan hukum, dengan demikian perlu dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi terselenggaranya upaya penegakkan supremasi hukum” katanya tgl (25/4/2021)
Advokat dalam menjalankan profesinya berlandaskan kepada UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang mana pada Pasal 21 UU tersebut berisi tentang Hak Honorarium atas jasa hukum yang telah diberikan kepada kliennya, dan besarnya Honararium ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.
Selain itu bila merujuk kepada Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.
Dengan demikian maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Advokat dalam menjalankan tugas profesinya memang memiliki hak untuk mendapatkan Honorarium yang besarnya wajar yang disetujui kedua belah pihak, selain itu selama advokat bertikad baik dalam menjalankan tugas profesinya maka ia tidak dapat dituntut baik secara perdata atau pidana, karena pemberian jasa hukum tersebut memiliki tujuan demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan.
Lebih lanjut, Tasrif menuturkan bahwa dalam prakteknya sebagai Advokat tentunya tidak perlu khawatir dalam menerima Honorarium sepanjang nilainya wajar dan pantas diterima sebagai jasa seorang advokat dan yang lebih penting dalam hal profesi advokat tidak dimanfaatkan oleh pelaku TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang) sebagai sarana melakukan pencucian uang.”pungkasnya.(vid)