Oleh: Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla
SELAMA satu dekade terakhir, bangsa Indonesia menyaksikan sebuah anomali konstitusional yang dibiarkan tumbuh tanpa kendali: _ polisi aktif ditempatkan pada beragam jabatan sipil di pemerintahan.
Di era Presiden Jokowi, ruang penempatan tersebut bahkan seolah tanpa batas, mulai dari KPK, BNN, BSSN, hingga jabatan strategis kementerian. Semua dibiarkan berjalan atas dasar sebuah peraturan internal Kepolisian _ Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 4 Tahun 2017 tentang Penugasan Anggota Polri di Luar Struktur Organisasi Polri.
Perkap inilah yang menjadi ‘pintu ajaib’ yang memungkinkan polisi aktif menduduki jabatan sipil tanpa harus pensiun. Padahal, dalam negara hukum, peraturan internal lembaga tidak boleh mengalahkan konstitusi.
Fenomena ini, merupakan ironi besar: negara yang mengaku demokratis, namun praktiknya memberi karpet merah bagi polisi aktif untuk masuk ke ranah yang secara tegas merupakan ranah kekuasaan hak-hak sipil.
Dan pada 13 November 2025, Mahkamah Konstitusi mengakhiri semua itu.
Putusan MK, adalah: Pemangkasan Kekuasaan Seragam di Ruang Sipil
Dalam Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 itu, Mahkamah menegaskan dengan bahasa hukum yang keras namun elegan:
– Polisi aktif tidak boleh lagi menduduki jabatan sipil dalam bentuk apa pun.
– Jika ingin menjabat, wajib pensiun atau mengundurkan diri terlebih dahulu.
Frasa ‘penugasan Kapolri’ yang selama ini disisipkan dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Kepolisian secara resmi dihapus, dibersihkan dari ranah hukum positif.
Tanpa rapat panjang, tanpa renstra, dan tanpa seminar bertema ‘sinergi, kolaborasi, koordinasi’, MK ibarat dokter bedah yang mengeksekusi penyakit tanpa anestesi: cepat, tepat, dan final. Keputusan itu keluar, bahkan sebelum Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian bentukan Presiden Prabowo sempat mencetak spanduk rapat perdana.
Landasan Konstitusi: Mengapa penempatan polisi aktif di jabatan sipil adalah inkonstitusional?
Dalam hukum tata negara, ada dua pertanyaan fundamental :
– Apakah Polri termasuk institusi sipil atau militer?
– Apakah boleh anggota aktif Polri menduduki jabatan sipil?
Jawaban konstitusinya, tegas:
1. Polri adalah Institusi Sipil (Menurut UUD 1945)
UUD 1945 hasil perubahan memisahkan Polri dari TNI. Dasar konstitusionalnya terdapat dalam :
• Pasal 30 ayat (4): “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat”
Polri tidak disebut, sebagai bagian dari pertahanan negara. Itu tugas TNI. Artinya Polri adalah institusi sipil, bukan militer.
Namun ironisnya, Polri pascareformasi di bekali:
– Senjata api mematikan,
– Senjata serbu berstandar militer,
– Pasukan khusus dengan fungsi paramiliter.
Ini menempatkan Polri, dalam posisi ambigu: ‘secara konstitusi sipil, namun secara praktik semi-militeristik. Inilah yang dikritik oleh banyak akademisi sebagai militerisasi ranah sipil.
2. Polisi Aktif Tidak Boleh Menjabat Jabatan Sipil
Ketentuan dasarnya:
– Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 : Jaminan atas “kepastian hukum yang adil”.
– Pasal 1 ayat (3): Indonesia adalah negara hukum, bukan negara seragam.
– Prinsip netralitas ASN (UU ASN, UU Kepolisian).
Dalam negara demokrasi, jabatan sipil harus dijalankan oleh sipil, bukan oleh aparat bersenjata. Karena itu, Perkap 4/2017 sesungguhnya melanggar prinsip konstitusional tersebut.
MK juga menegaskan:
Tidak ada peraturan internal lembaga yang boleh membatalkan prinsip pemisahan sipil–militer.
Analisis Akademisnya: Polisi Penegak Hukum atau Penegak Keadilan?
Selama ini, Polri dipahami sebagai ‘aparat penegak hukum’. Namun dalam negara hukum modern, aparat hukum tidak boleh berhenti pada sekadar menerapkan pasal. Mereka harus menjadi:
Aparat Penegak Keadilan (Law Enforcement with Justice)
– Hukum tanpa keadilan dapat melahirkan ketidakadilan yang dilegalkan.
– Polisi yang hanya patuh pada teks hukum bisa bersikap sewenang-wenang.
– Polisi sebagai penjaga keadilan substantif, bukan hanya keadilan prosedural, sesuai amanat konstitusi.
Polisi ideal bukanlah executioner of rules, tetapi guardian of justice.
MK Mengingatkan Negara: Kembalilah ke Rel Konstitusi.
Ada humor yang beredar:
“Ketika Komisi Reformasi Kepolisian baru belajar menulis profil, MK sudah duluan mereformasi negeri.”
Putusan ini, menyentakkan republik dari ‘lelucon kelembagaan’ yang telah berjalan terlalu lama.
MK mencabut:
– Privilese seragam,
– Ruang abu-abu Kekuasaan,
– justifikasi birokrasi atas dominasi aparat.
Hakim Saldi Isra bahkan menyatakan:
“Dalil resiprokal itu untuk hubungan antarnegara, bukan antarjabatan.”
Dan Ketua MK Suhartoyo menegaskan:
“Konstitusi tidak bisa dikalahkan oleh aturan internal institusi.”
Putusan ini lahir, berkat dua sosok warga negara; — Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite — yang menggunakan hak konstitusional mereka sebagai warga negara untuk meluruskan jalannya Republik.
Penutup:
Reformasi Dimulai dari Keberanian, Bukan dari Komisi!
Ironis namun indah:
– Reformasi kepolisian dimulai bukan oleh polisi, bukan oleh pemerintah, melainkan oleh sembilan hakim konstitusi — dan dua warga negara yang lelah melihat negara dikelola melalui celah peraturan.
Putusan MK ini adalah:
– Penegasan ulang batas antara sipil dan aparat bersenjata,
– Tamparan lembut bagi praktik kekuasaan era sebelumnya,
– Pengingat bahwa konstitusi bukan hiasan, tetapi kompas bangsa.
Puisi Penutup
Polisi aktif tak lagi beraksi di kursi sipil
MK mengetuk palu seragam pun menepi
Komisi reformasi, baru belajar menulis profil
Namun, MK telah lebih dulu membenahi negeri !. (©)
Penulis:
Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla
Editor:
Redaksi
Sumber:
haikunnews.id



