Oleh Mochdar Soleman
Akademisi Universitas Nasional
Sekjen Gerakan Pemuda Nuku
SUARABUANA.com Tanah Leluhur yang Dijadikan Bukti Pidana
Di bawah sorotan lampu ruang sidang, sebelas warga adat Maba Sangaji duduk sebagai terdakwa. Tangan mereka pernah menanam sagu, kini diikat pasal-pasal pidana.
Tanah yang mereka bela disebut lahan negara. Namun dalam ingatan mereka, itulah tempat arwah leluhur bersemayam—tanah yang tak pernah dijual, tapi kini dijadikan bukti perkara.
Di balik naskah hukum yang kaku, mengalir kisah getir tentang negara yang takut pada rakyatnya, tapi tunduk pada modal. Kriminalisasi terhadap masyarakat adat Maba Sangaji bukan sekadar urusan hukum, melainkan potret politik lingkungan yang pincang, di mana kekuasaan modal menulis ulang makna keadilan dan ruang hidup.
Negara Ekstraktif dan Ketakutan Struktural
Dalam teori politik lingkungan, negara idealnya berfungsi sebagai penjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan ekologi. Namun, di Halmahera Timur, negara berubah menjadi aktor ekstraktif yang menukar legitimasi politik dengan investasi tambang. Sebagaimana dikemukakan Erwiza Erman dalam Aktor, Akses, dan Politik Lingkungan di Pertambangan Timah Bangka (2020), kekuasaan negara sering kali beroperasi sebagai broker antara modal dan masyarakat. Negara tidak netral: ia menjadi bagian dari sistem penguasaan sumber daya.
Pemerintah daerah menunjukkan ketakutan struktural menghadapi modal besar.
Mereka lebih takut kehilangan proyek daripada kehilangan rakyat.
Akibatnya, pembangunan dijalankan bukan untuk manusia, melainkan untuk akumulasi modal dan pengamanan kekuasaan. Dan hukum, yang seharusnya menjadi pagar keadilan, justru berubah menjadi pagar tambang.
Logika yang Hilang
Mengutip pandangan Dr. Phil. Geger Riyanto dalam sidang kasus Maba Sangaji membongkar absurditas hukum yang dijalankan negara. “Menyeret masyarakat adat ke pengadilan karena membela tanah leluhur,” kata Geger Riyanto, “adalah bentuk penyangkalan terhadap sejarah bangsa itu sendiri.”
Ia mengingatkan, konsep masyarakat adat bukan lahir dari wacana lokal, tetapi dari proses ilmiah dan politik internasional yang panjang. PBB melalui José Martinez Cobo dan UN Permanent Forum on Indigenous Issues (UNPFII) telah menetapkan empat prinsip utama:
1. Keterikatan ekologis dan spiritual dengan wilayah leluhur.
2. Kontinuitas sejarah sebelum terbentuknya negara.
3. Sistem sosial-budaya khas.
4. Posisi termarginalkan secara struktural.
Dengan kriteria itu, warga Maba Sangaji jelas memenuhi definisi masyarakat adat.
Mereka bukan pelanggar hukum, melainkan penjaga keseimbangan ekologis.
Kriminalisasi terhadap mereka bukan hanya kekeliruan hukum, tetapi pengkhianatan terhadap mandat kemanusiaan yang diakui dunia internasional.
Politik Ruang dan Kolonialisme Baru
Kasus Maba Sangaji memperlihatkan bagaimana peta pembangunan telah kehilangan arah etika. Wilayah adat dijadikan proyek tambang, warga diusir dari ruang hidupnya, lalu disebut “penghambat investasi.” Inilah bentuk baru kolonialisme: tanah rakyat diambil dengan izin hukum, dan rakyat dituduh melawan negara di tanahnya sendiri.
Dalam teori politik ruang, tanah bukan hanya soal kepemilikan, tetapi soal makna eksistensial.
Bagi masyarakat adat, tanah adalah tubuh sejarah dan tempat jiwa berlabuh.
Ketika tanah itu dirampas, yang dihapus bukan hanya hak milik, tapi hak untuk menjadi.
Kriminalisasi warga Maba Sangaji, dengan demikian, adalah tindakan penghapusan identitas ekologis dan spiritual. Negara yang menambang tanah rakyat atas nama kemajuan sesungguhnya sedang menggali kuburannya sendiri di dasar kepercayaan publik.
Dari Luka Tumbuh Kesadaran
Namun represi tak selalu melahirkan kekalahan. Dari luka itu tumbuh kesadaran ekologis kesadaran bahwa pembangunan yang menyingkirkan manusia bukanlah kemajuan, melainkan kemunduran moral. Sebagaimana digambarkan oleh David Hyndman dan Stuart Kirsch (1999), perlawanan masyarakat adat terhadap tambang merupakan bentuk ecological resistance politik tandingan yang menegakkan nilai hidup di atas logika modal.
Masyarakat Maba Sangaji kini tak sekadar membela tanah, tapi membela kehidupan itu sendiri. Mereka menolak menjadi korban sejarah baru kapitalisme ekstraktif, dan mengubah penderitaan menjadi pengetahuan ekologis. Dari perlawanan mereka, kita belajar bahwa ekologi bukan urusan alam semata, tetapi urusan manusia yang menolak dijadikan angka dalam laporan investasi.
Negara dalam Krisis Legitimasi
Setiap kali hukum digunakan untuk menindas rakyat, negara kehilangan makna moralnya.
Keadilan yang hanya melindungi investor bukan keadilan, melainkan administrasi kekuasaan.
Sebagaimana diingatkan Erwiza Erman, konflik sumber daya alam selalu menyimpan politik akses: siapa yang diakui, siapa yang dihapus, dan siapa yang dikorbankan.
Negara kini menghadapi krisis legitimasi ekologis. Rakyat semakin sulit percaya pada hukum yang hanya tajam ke bawah dan tumpul ke modal. Demokrasi kehilangan jiwanya ketika hukum dijalankan tanpa nurani.
Reproduksi Ketimpangan
Pemerintah tidak bisa terus bersembunyi di balik jargon “penegakan hukum”.
Yang dibutuhkan bukan sekadar pembebasan terdakwa, tapi rekognisi substantif terhadap masyarakat adat. Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) harus menjadi fondasi setiap kebijakan di wilayah adat. Tanpa itu, pembangunan hanya akan menjadi proyek kekerasan yang dibungkus kata “kemajuan.”
Politik lingkungan yang beradab mensyaratkan keberanian moral negara: keberanian untuk berpihak pada kehidupan, bukan laba. Karena pembangunan yang menyingkirkan rakyat adalah kegagalan paling sempurna dari negara modern.
Siapa yang Berhak Mendefinisikan Keadilan
Kasus Maba Sangaji adalah cermin retak bangsa ini. Di dalamnya, kita melihat negara yang kehilangan arah dan rakyat yang kehilangan perlindungan. Sehingga muncul pertanyaan: siapa yang berhak mendefinisikan keadilan? Apakah keadilan ditentukan oleh kekuatan ekonomi, atau oleh mereka yang menjaga kehidupan dari kehancuran?
Selama hukum masih berpihak pada modal, rakyat akan terus menjadi terdakwa di tanahnya sendiri. Namun sejarah memiliki cara sendiri untuk menulis ulang keadilan:
ia berpihak kepada mereka yang menjaga bumi, meski harus melawan negara. Karena bagi masyarakat adat Maba Sangaji, mempertahankan tanah bukan sekadar perjuangan, tetapi ibadah kepada kehidupan itu sendiri.