Depok, Suarabuana.com – Berdasarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif yang dimaksud dengan keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
Penghentian penuntutan dilaksanakan dengan berazaskan keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, dan cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Korps Adhyaksa Depok dalam melakukan kegiatan Jaksa Menyapa, Kamis (10/9/2020), di RRI Bogor, menghadirkan tiga orang menjadi narasumber diantaranya, dari Seksi Pidana Umum, yakni Adi Prasetya dan Charles Pangaribuan serta Alfa Dera dari Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Depok. Dalam pokok pembahasan mengenai memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dalam perkara tindak pidana umum.
“Untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat maka, Kejaksaan Republik Indonesia menerbitkan Peraturan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif yang diharapkan tidak ada lagi penuntutan-penuntutan yang melukai hati nurani masyarakat,” tutur Alfa Dera, Kasubsi Intelijen Kejaksaan Negeri Depok, Jumat (11/9/2020), di ruang kerjanya.
Akan tetapi, tidak semua perkara dapat dilakukan penghentian penuntutan. Alfa Dera menerangkan, berdasarkan Peraturan Kejaksaan tersebut ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi atau kriteria yang dapat dilakukan dalam penghentian penuntutan. Selain itu, harus mendapat persetujuan dari Kejaksaan Tinggi.
Sementara Hengki Charles Pangaribuan selaku Kasubsi Penuntutan Pidana Umum Kejaksaan Negeri Depok memaparkan bahwa SPDP perkara tindak pidana dari Kepolisian, cukup signifikan jmlahnya.
“Coba kita cermati bersama, dalam periode terhitung dari tanggal 01 Januari 2020 sampai dengan tanggal 10 September 2020 sudah ada 506 Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Kepolisian. Sungguh mengkhawatirkan,” imbuhnya.
Charles menambahkan, dari total 506 SPDP tersebut, sebanyak 406 berkas sudah Tahap Satu dan sudah dikirim ke Kejaksaan. Sebanyak 381 berkas telah dilakukan proses penuntutan dan untuk perkara yang lebih dominan adalah perkara narkotika.
Masih di lokasi yang sama, Kasubsi Prapenuntutan Pidana Umum Kejaksaan Negeri Depok Adi Prasetya menyampaikan, untuk data-data perkara tindak pidana umum kriminalistik secara garis besar diberikan kepada bidang intelijen untuk dianalisa bidang intelijen.
Atas hal itu, Alfa Dera menambahkan, data-data kriministik tersebut menjadi salah satu bahan atau pertimbangan dalam menentukan tema-tema yang akan digunakan dalam penyuluhan atau peningkatan hukum kepada masyarakat dengan harapan, penyuluhan hukum ini dapat memberikan pencerahan dalam media digital melalui sosial media sehingga dapat menekan laju tindak pidana.
“Selama ini kami melihat data statistik upaya-upaya pencegahan melalui media sosial maupun melalui konten-konten kreatif bilamana dihubungkan dengan statistik, sangat berpengaruh atau mempengaruhi misalnya, mengenai tawuran. Kita mencoba membuat konten-konten terkait dengan aturan-aturan kemudian kita melakukan sosialisasi. Hal itu diharapkan nantinya dapat menurunkan tindak pidana,” harapnya.
Saat ditanya lebih lanjut mengenai Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020, Alfa Dera memaparkan, Jaksa Agung telah menerbitkan landasan hukum terkait dengan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan. Perja ini menjadi dasar untuk melakukan penghentian atas perkara-perkara yang sebenarnya tidak perlu naik ke persidangan.
“Seperti perkara seorang Nenek yang mencuri sepotong kayu yang harus disidangkan. Dikarenakan terbentur dengan hukum acara pidana sehingga memaksa Jaksa harus menyidangkan perkara tersebut. Maka, lahirnya Perja Nomor 15 tahun 2020 ini diharapkan tidak ada lagi penuntutan-penuntutan yang dapat melukai hati nurani masyarakat,” pungkasnya.
(JIMMY)