BerandaAcehIndustri Kreatif Aceh Tertekan Akibat Kebijakan Tak Konsisten dan...

Industri Kreatif Aceh Tertekan Akibat Kebijakan Tak Konsisten dan Alasan Syariat yang Timpang

BANDA ACEH, SUARABUANA.com — Sejumlah pelaku industri kreatif Aceh menilai bahwa pembatalan berbagai acara berskala besar dalam beberapa tahun terakhir bukan sekadar masalah teknis, tetapi menunjukkan ketidakpastian kebijakan publik dan penyalahgunaan wewenang di tingkat daerah.

Berdasarkan data penyelenggara WJP, sedikitnya 1.052 warga Aceh menghadiri konser di luar provinsi. Menggunakan pendekatan konservatif yang lazim dalam studi dampak pariwisata (economic leakage), nilai belanja yang tidak berputar di Aceh diperkirakan Rp1,58–3,68 miliar hanya dari satu event. Ini baru satu contoh; pola serupa terjadi berulang.” (rujuk paper leakage & WJP).

CEO PT Erol Perkasa Mandiri, Steffy Burase, mengatakan bahwa pola yang berulang ini merugikan seluruh penyelenggara acara di Aceh, baik yang berada di sektor musik, festival budaya, maupun kegiatan komersial lainnya.

“Bukan hanya satu EO yang mengalami ini. Hampir semua acara berskala nasional selalu berakhir dengan hambatan administratif, perubahan aturan mendadak, atau alasan syariat yang sebenarnya sudah dinyatakan ‘lolos’ oleh Dinas Syariat Islam dan MPU. Sementara itu, konser-konser lokal yang tidak mengikuti tata aturan justru dibiarkan berlangsung,” ujarnya.

Menurut Steffy, pembatalan tidak hanya terjadi karena alasan syariat, tetapi juga melalui mekanisme administrasi yang tidak sehat.

“Ada yang lapangannya digembok di hari-H, ada yang diberikan tagihan retribusi dengan angka yang tidak rasional, ada yang izin sudah lengkap tetapi tetap diberhentikan. Situasi seperti ini membuat EO mana pun tidak bisa bekerja dengan kepastian,” katanya.

Ia menambahkan bahwa kasus yang dialaminya adalah contoh dari maladministrasi yang nyata.
“Dalam kasus kami, alasan syariat tidak bisa dipakai karena seluruh persyaratan keagamaan sudah lolos sejak awal. Yang muncul justru tagihan yang tidak masuk akal dan tindakan penggembokan venue. Ini bukan persoalan syariat, ini masalah tata kelola,” tegasnya.

Steffy menilai kondisi ini berdampak besar pada seluruh rantai ekonomi lokal.
“Setiap acara besar melibatkan ratusan pekerja, vendor, UMKM, crew lokal, talent, dan pelaku usaha lainnya. Ketika acara besar selalu dihambat, ekonomi Aceh kehilangan perputaran uang miliaran rupiah,” jelasnya.

Ia juga menyoroti tren baru, yaitu masyarakat Aceh yang justru memilih pergi ke luar daerah untuk mendapatkan hiburan.

“Lebih dari seribu warga Aceh tercatat bepergian ke luar provinsi untuk menghadiri konser nasional. Ini bukti bahwa kebutuhan masyarakat tetap ada, hanya saja tidak bisa dipenuhi di Aceh karena kebijakan yang tidak konsisten,” katanya.

Menurut Steffy, hal yang diperjuangkan para penyelenggara acara bukanlah kebebasan tanpa batas, tetapi aturan yang konsisten dan berbasis kajian, bukan tekanan atau kepentingan tertentu.

“Kalau aturan berubah-ubah tergantung siapa penyelenggaranya, itu bukan lagi syariat dan bukan lagi administrasi — itu ketidakadilan. Suara yang kami bawa adalah suara ratusan pelaku industri kreatif Aceh yang ingin bekerja dengan tenang, transparan, dan profesional,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa ke depan pemerintah Aceh harus melibatkan pelaku industri kreatif dalam dialog terbuka agar kebijakan yang diambil tidak merugikan rakyat.

“Kami hanya meminta pemerintah membuat standar yang jelas, adil, dan tidak semena-mena. Kalau ingin menjaga syariat, lakukan dengan konsisten. Kalau ingin menegakkan aturan, lakukan dengan prosedur yang benar. Yang diperlukan rakyat Aceh hari ini adalah kepastian, bukan larangan yang berubah-ubah,” tutup Steffy.(M)

suara buana
suara buanahttps://suarabuana.com/
https://suarabuana.com/