Hal-Sel, suarabuana.com Tidak hanya para oligark dan oligopol lokal yang kerap mencuri sumberdaya alam dan keuangan daerah kita. Akan tetapi, praktek koruptif tersebut telah terdelegasi pada oknum-oknum Ex mahasiswa, pengurus organisasi kemahasiswaan, dan organisasi kepemudaan yang acapkali melalukan perilaku demikian.
Term bakeka merupakan suatu istilah yang dipredikasikan kepada oknum-oknum Ex mahasiswa, pengurus organisasi kemahasiswaan, dan organisasi kepemudaan yang manjadikan kesalahan birokrat dan ketidakpatuhan hukum korporat sebagai sumber pendapatan keuangan.
Tafsir kata bakeka mengandung konotasi negatif bagi kelompok aktivis mahasiswa, karena dianggap mencedrai kesucian identitas dan menimbulkan distrust terhadap gerakan mahasiswa oleh masyarakat. Bakeka manifestasi dari mereka yang senang meyakinkan, bahkan mengancam pejabat publik dan pengusaha demi menghasilkan uang.
Sedangkan istilah habitat dalam tulisan ini, dinukil dari istilah “habitus”, yang oleh Bourdieu digunakan untuk menjelaskan keadaan individu yang dibentuk oleh lingkungan intra dan ekstra dalam arena sosial (Abdullah Totona: 2013). Oleh karena itulah, penulis menerjemahkan kata habitus menjadi habitat untuk menerangkan situasi dan kondisi yang telah dijadikan kultur oleh kelompok bakeka, yang bagi mereka dianggap suatu perilaku yang lazim-lazim saja.
Fenomena bakeka yang dilakukan oknum-oknum alumnus mahasiswa dan alumnus pengurus organisasi kemahasiswaan bukanlah barang baru di daerah (halmahera selatan) ini, namun merupakan warisan tradisi dari senior-senior mereka sebelumnya. Dan tidak hanya itu, bakeka bahkan telah menjadi kebiasaan, bahkan mata pencarian tetap yang lazim, walau sebenarnya merupakan perbuatan tidak beradab yang dibentuk melalui pertemanan dan lingkungan sosial.
Bakeka merupakan cara termudah dan tidak terlalu menguras energi atau tenaga untuk mendapatkan uang. Tidak seperti petani cabai yang harus membongkar lahan, membajak tanah, menyemai bibit, meremajakan tanaman, kemudian memanen untuk menghasilkan uang, tidak pula seperti nelayan yang harus membeli mempunyai bodi katinting, ts atau jonson, menyiapkan bbm, mengarungi lautan – bertarung melawan ombak dan legang dingin angin malam, dan tidak juga seperti penambang rakyat yang harus mempertaruhkan nyawanya dalam lubang – lalu hasil tambangnya dioleh dulu untuk dapat menghasilkan uang. Cukup bermodalkan nekat dan berani saja, dengan memanfaatkan kesalahan penguasa (pejabat publik) dalam pengambilan kebijakan dan atau keputusan tertentu dan pengusaha yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, mangandalkan smartphone dan aksi massanya yang adalah nuklir teror psikologis, sehinggah waktu yang dibutuhkan hanya dalam hitungan satu sampai dua jam saja beratus-juta rupiah mereka dapatkan.
Realitas demikian inilah yang merupakan asbabun nudzul terbentuknya habibat bakeka, sehingga dalam melaksanakan pekerjaannya mereka tak merasa bersalah. Bak pemain wayang, diruang-ruang publik, mereka dengan bangga mengidentifikasi dan mempublikasikan diri (red: kelompok) sebagai representasi dari dan untuk menyampaikan aspirasi rakyat dan konstitusi, namun di belakang layar mereka berubah wujud jadi penjilat, yang dalam istilah Julian Benda disebut sebagai “pelacur intelektual”. Hal ini juga yang menjadi penyebab rapuhnya persatuan intelektual dan retaknya gerakan aktivis dalam upaya memperbaiki tatanan daerah, bangsa dan negara. Bukannya dengan itikad baik dan benar-benar memberikan kritik tajam konstruktif dalam upaya melakukan gerakan pembaharuan tanpa imbalan. Karena itulah problem re-internalisasi organisasi telah menjadi penyakit kritis organisasi kemahasiswaan dan kelompok alumninya tak pernah terselesaikan hingga hari ini.
Olenya itu, sebagai upaya perbaikan atas kondisi yang telah sedemikian rumit ini, diperlukan upaya istinja dan thahara diri secara dini dalam tubuh organisasi kemahasiswaan, kepemudaan dan kelompok alumninya. Sehingga ketika anggotanya melepaskan status keanggotaannya, memiliki cukup iman untuk istiqomah dalam mempertahankan diri dari godaan sahwat bakeka.
Akhirnya, kesadaran untuk mengakselerasikan pembaharuan negeri saruma ini tidak boleh terhenti hanya dengan mengemukakan 1001 ide dan gagasan saja. Namun harus diturut sertai tindakan diruang publik, karena dengan tindakan diruang publik itulah keberadaan kita sebagai genarasi pelanjut estafet perubahan dilegitimasi secara defakto oleh manusia dan semesta bumi saruma.(RL)