DEPOK, SUARABUANA.com – Kebijakan Gubernur Jawa Barat tidak dijalankan dengan konsisten tapi diselewengkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Akibatnya siswa miskin tetap tidak bisa bersekolah. Demikian siaran pers Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Kota Depok di Depok, Kamis (10/9).

“Seharusnya Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat melaksanakan perintah Gubernur jangan ditambah atau dikurangi apalagi diselewengkan. Ini solusi Gubernur Dedi Mulyadi dipelintir, sehingga tidak tepat sasaran dan merugikan masyarakat miskin dan tidak mampu,” jelas Roy Pangharapan merespon pengumuman hasil seleksi dari Program Pencegahan Anak Putus Sekolah atau PAPS yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, yang ternyata belum mampu mengakomodir semua siswa miskin untuk mendapatkan sekolah.
“Saya menyayangkan Kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi diselewengkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Akibatnya masih ada siswa miskin yang belum mendapatkan sekolah” ujar Roy Pangharapan.
Menurut DKR, semangat dari langkah Gubenur Dedi Mulyadi untuk memaksimalkan rombongan belajar menjadi maksimal 50 siswa per kelas adalah untuk membantu siswa dari keluarga miskin. Namun kebijakan tersebut diolah lagi oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat yang mengakibatkan banyaknya siswa miskin yang belum mendapatkan sekolah.
“Langkah Gubenur Dedi Mulyadi sudah bagus, tetapi kenapa Dinas Pendidikan Jabar justru membuka kesempatan tersebut pada siswa umum tanpa memprioritaskan pada siswa dari keluarga tidak mampu dan miskin. Akibatnya tetap saja siswa miskin tidak diakomodir,” keluh Roy Pangharapan.
*Dinas Pendidikan Harus Tanggung Jawab*
Atas penyimpangan yang disangaja oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat tersebut, DKR menuntut agar ada kebijakan khusus bagi siswa miskin yang belum mendapatkan sekolah.
“Kami mendesak agar Dinas Pendidikan Jawa Barat bertanggung jawab dan kembali konsisten melaksanakan instruksi Gubernur Dedi Mulyadi dengan mengakomodir semua siswa miskin dan tidak mampu yang belum mendapatkan sekolah,” tegas Roy Pangharapan.
Adapun siswa miskin yang belum mendapatkan sekolah yang sudah melaporkan ke DKR ada 5 siswa. DKR sedang menunggu lagi laporan dari beberapa siswa dari keluarga miskin dan tak mampu yang belum mendapatkan sekolah yang jumlahnya terus bertambah.
“Saya yakin di luar itu masih banyak lagi siswa yang kehilangan hak untuk bersekolah,” pungkas Roy Pangharapan.
*Kebijakan Rombel 50 Siswa*
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyatakan kondisi darurat pendidikan menjadi alasan pemerintah provinsi menambah jumlah siswa per rombongan belajar (rombel) dari 36 menjadi 50. Kebijakan ini, sambung Dedi, merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk memastikan seluruh warga tetap mendapat pendidikan.
“Kenapa cara ini dilakukan, karena darurat. Kenapa darurat, karena daripada rakyat tidak sekolah lebih baik sekolah, daripada mereka nongkrong di pinggir jalan kemudian berbuat sesuatu yang tidak sesuai usianya, lebih baik dia sekolah walaupun sederhana, itu prinsip saya,” ujar Dedi di Bandung, Rabu (9/7/2025).
Menurut Dedi, pemerintah memiliki kewajiban untuk menyediakan fasilitas bagi rakyatnya yang ingin sekolah, sekalipun dalam kondisi serba terbatas.
“Negara tidak boleh menelantarkan warganya, sehingga tidak bersekolah, jangan sampai warga mendaftar capek-capek ingin sekolah, tapi negara tidak memfasilitasi, maka saya sebagai Gubernur Jabar bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak di Jabar, saya tidak menginginkan anak-anak Jabar putus sekolah,” tegasnya.
Dalam kebijakannya, maksimal jumlah siswa per rombel kini menjadi 50. Namun, lanjut Dedi, tidak semua kelas harus penuh 50 siswa.
“Artinya, setiap kelas bisa menerima 30, 35, atau 40 siswa. Pertimbangan penambahan rombel itu berdasarkan ketersediaan sekolah di suatu daerah dan kemampuan ekonomi warganya,” katanya.
Ia mencontohkan, di beberapa daerah banyak siswa tidak tertampung di SMA/SMK Negeri terdekat, sementara kondisi ekonomi membuat mereka tidak sanggup sekolah di swasta.
“Tidak mampu itu bukan hanya tidak mampu membayar setiap bulan. Bisa saja dia membayar setiap bulan Rp200 atau Rp300 ribu. Tetapi misalnya dia berat diongkos menuju sekolahnya, maka Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengambil kebijakan, daripada tidak sekolah, dia lebih baik sekolah walaupun di kelasnya 50 siswa,” jelas Dedi.
Ke depan, tambahnya, pemerintah akan membangun ruang kelas baru untuk secara bertahap mengurangi jumlah siswa per kelas.
“Sekolah negeri yang dimaksud adalah SMA dan SMK Negeri yang merupakan kewenangan Pemprov Jabar, semoga kebijakan ini bisa mencegah masyarakat Jabar untuk tidak putus sekolah,” ucapnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Barat per November 2024, terdapat 658.831 anak di Jawa Barat yang tidak bersekolah. Jumlah ini terdiri dari 164.631 anak putus sekolah, 198.570 anak lulus tetapi tidak melanjutkan, dan 295.530 anak yang belum pernah sekolah sama sekali.
DKR lewat media sosial Tiktok juga sudah menyatakan dukungan atas kebijakan Gubenur Dedi Mulyadi yang mengijinkan rombongan belajar menjadi maksimal 50 siswa Perkelas, agar semua siswa di Jawa Barat bisa bersekolah. (*)