JAKARTA, SUARABUANA.com –
“Sungguh naif bila kita berbicara negara, jika hak bersuara masyarakat tidak ada. Mau protes kepada siapa, jika kehadiran negara dan penegak keadilan di negeri ini tidak pernah ada buat rakyatnya yang tertindas, terdzholimi !”.
Kalimat diatas, adalah bukti nyata adanya praktik diskriminatif penegakan hukum dan tentunya merupakan kritik sosial yang tajam terhadap sistem pemerintahan dan para penegak keadilan di negeri Indonesia ini.
Namun demikian, ironisnya, oknum pemerintah dan juga para oknum penegak hukum tetap saja bebal, pura-pura buta, berlagak tuli, dan tidak punya rasa malu menyandang status sebagai aparatur negara.
Kalimat diatas jelas merupakan bentuk ekspresi dari seorang warga masyarakat yang notabene adalah Rakyat Indonesia yang coba menyampaikan rasa kekecewaan dan frustasinya, lantaran ketidakpuasannya terhadap sistem penegakan hukum yang ditangani oleh ‘para oknum’ di institusi Kepolisian Republik Indonesia, dimana suara rakyat, kaduan masyarakat, tidak didengar dan keadilan yang lama dicari serta didambakan tidak jua pernah didapatkan apa lagi ditegakkan.
Kalimat diatas, jelas menyiratkan, bahwa; tidak ada ruang untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat publik, serta tidak adanya penegakan hukum apatah lagi Penegak Keadilan. Sehingga apa yang disebut keadilan, adalah barang mahal buat rakyat jelata.
Maka, bila bicara negara, demokrasi nyatanya cuma mimpi. Pasalnya, de facto, negara senyatanya tidak mampu untuk melindungi hak-hak asasi masyarakat jelata terutama terkait yang dinamakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Padahal, kritik semacam ini, sering kali muncul dalam konteks ketidakpuasan warga masyarakat terhadap sistem pemerintahan yang dianggap mandul dalam menangani Perkara Hukum dan Penegakan Keadilan. Akhirnya, fakta yang ada, keadilan pun terlihat cuma milik mereka yang punya kuasa, punya kedudukan dan kaya-raya bergelimang harta.
Fenomena yang memprihatinkan ini, adalah pengalaman pahit yang nyata, sebagaimana dialami langsung secara faktual oleh seorang Legiman Pranata, warga Negara Indonesia yang tinggal di Medan, Sumatera Utara dan sudah menempuh perjalanan bertahun-tahun untuk mencari yang namanya keadilan di negeri ini.
Namun sebagaimana yang disampaikannya, hukum dan keadilan hanya jadi permainan para oknum bejad tak bermoral yang hobinya senang mencari keuntungan di atas keluhan dan kaduan masyarakat. Seakan senang menari di atas penderitaan rakyat.
Perlu diketahui, perjuangan panjang seorang Legiman Pranata dalam mencari keadilan sudah di mulai sejak tahun 2012 hingga kini. Legiman sebagaimana pengakuannya, merupakan warga Medan yang juga anggota Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), sekaligus Relawan Prabowo-Gibran 08 yang turut andil berjibaku untuk kemenangan Prabowo di perhelatan Pilpres belum lama ini. Pencari keadilan ini menuturkan dengan nada lelah kepada para awak media yang ditemuinya, bahwa perjalanan perjuangannya untuk bisa mendapatkan keadilan sudah menempuh banyak lembaga, instansi, dan institusi. Bahkan sudah mengirim surat terbuka, penuh harapan bercampur kekecewaan kepada sang Jenderal penyandang jabatan Kapolri, Listyo Sigit Prabowo, M.Si., S.I.K. di Jakarta.
Dalam suratnya yang beredar itu, Legiman menyebut dirinya sebagai korban dari keserakahan dan penzoliman. Lantaran perlakuan dan ulah dari oknum anggota DPR RI yang diduga telah memanipulasi dan menggunakan nomor induk kependudukan (NIK) ganda untuk mengambil lahan miliknya melalui peradilan baik PTUN maupun PN.
Legiman mengatakan, bahwa; kasus ini sudah diproses oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumatera Utara, bahkan sampai diterbitkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) ke-2 pada 3 Juli 2025. Namun, Legiman menilai penyidikannya kepolisian justeru berjalan stagnan alias mandek.
“Meskipun saya terseok-seok memperjuangkan hak, saya akan terus mencari dan menanyakan; dimanakah adanya ‘Penegak Keadilan’ di negeri ini buat saya,” lirih Legiman, dengan wajah lelah dan mata mata berkaca-kaca.
Berdasarkan kronologis dibawah ini, publik bisa menilai sendiri fakta yang terjadi di Republik ini, sebagaimana yang dipaparkan oleh Legiman Pranata:
– Pada tahun 2000, Legiman Pranata membeli sebidang tanah dari saudara Jamaludin dengan luas 10.464 m² di Jalan Medan Binjai, Dusun 1, Desa Sungai Semayang, Kabupaten Deli Serdang, dengan dasar surat SK Bupati Deli Serdang tahun 1974 (surat terlampir).
– Selanjutnya, pada 30 April tahun 2012, tanah Bapak Legiman di serobot oleh orang yang tidak bertanggung jawab dengan modus licik, yakni; melakukan penimbunan di atas lahan Bapak Legiman tersebut. Orang itu melakukan penimbunan dengan alasan hak sewa menyewa, serta melampirkan sertifikat hak milik SHM nomor 477 dengan luas 11.888 m² atas nama Sihar Sitorus. Selanjutnya Bapak Legiman pun diperlihatkan fotocopy sertifikat hak milik nomor 477 tersebut.
– Untuk meng-counter hal tersebut, Bapak Legiman pun lalu mendaftarkan nomor objek pajak pada tanggal 10 Mei 2012 dan selanjutnya ditagih SPPT PBB dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2012 dengan nilai 39 juta.
– Selanjutnya pada tanggal 14 Juni 2012, Bapak Legiman mendaftar ke BPN Deli Serdang dan Terbitlah SHM nomor 655 tahun 2012 yang diterbitkan sebagai hak milik atas nama Legiman Pranata.
– Selanjutnya pada tanggal 14 Desember 2017, mereka pun diketahui memasang plang di atas tanah milik Legiman dengan tulisan putusan PTUN nomor 98 tahun 2017 yang mengklaim bahwa pemilik tanah dengan sertifikat hak milik SHM nomor 477 dengan luas 11.888 m² adalah Sihar Sitorus.
– Menindaklanjuti itu, pada tahun 2021 Bapak Legiman pun kemudian meminta klarifikasi ke kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Medan. Pasalnya, dengan dasar putusan nomor 98 tahun 2017 bahwa telah ditemukan adanya kejanggalan, lantaran diketahui ada dua nomor induk kependudukan yang digunakan oleh satu orang yang sama yakni; satu atas nama Sihar Pangihutan Sitorus dan satunya lagi atas nama Sihar Sitorus. Sehingga dengan dasar hal tersebut, Legiman pun mempertanyakan adanya penggunaan KTP atau NIK ganda oleh oknum tersebut.
– Sampai pada akhirnya, Legiman harus terus memperjuangkan lahan miliknya yang di serobot itu, bahkan sudah mengadukan perihal yang menimpa nasibnya itu kemana-mana. Bahkan sampai ke Majelis Kehormatan Dewan (MKD), sampai semua berlarut-larut, bertahun-tahun, hingga sampai hari ini belum juga ada kejelasan.
– Sehingga klimaksnya, Legiman pun mengadukan nasibnya terkait kezaliman yang dialami kepada Kapolri yang lalu hanya membalas melalui via chatting WA dengan memberikan nomor Kadiv Propam Mabes Polri.
– Setelah coba dihubungi, ternyata ada respon baik dengan jawaban bahwa akan ada utusan lima orang anggotanya untuk menindaklanjuti ke Medan. Tapi ironisnya, sampai hari ini, perkembangan kasus sedikitpun tak ada diterima oleh Legiman. Padahal, keberangkatan kelima orang itu pastinya dibiayai oleh uang negara.
Jika proses Penegakan Hukum seperti ini, lalu apa makna dari yang namanya Reformasi Kepolisian RI oleh sang Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri?!
Menurut penuturan Legiman yang disampaikannya pada para awak media, kelima orang dari utusan Kadiv Propam tersebut, adalah:
1. Juri Leonar Siahaan
2. Samones Melani Patricko
3. Wiratama Sandi Yudha
4. Yunanto Hari Eko
5. Imawan Achmad Husni
(pangkat tidak tahu).
“Mereka datang Tgl 25/8/2025 Pk. 11.00 siang di ruangan Kanit Propam Polda Sumut, dan pulang ke Jakarta 28 Agustus 2025. Namun hasilnya, sampai sekarang saya belum tau. Lucunya, waktu saya datang ke ruangan tipiter unit 4 Tgl 30/9/2025 dari jam 16 sampai jam 18 tidak jumpa penyidik sampai sekarang. Malah ironisnya, salah seorang oknum dari Polda Sumut mengatakan kalau orang Propam Mabes minta uang,” beber Legiman, saat menyampaikan keluhannya via telpon WA pada wartawan media ini.
Hingga berita ini ditulis dan ditayangkan, Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri, masih belum juga merespon apalagi menyikapi. Seakan terkesan, kalau Kapolri yang kinerjanya saat ini tengah menjadi sorotan publik itu seperti pesimistis dan akhirnya menunjukkan indikasi adanya sikap anggap remeh instruksi dalam pidato Presiden Prabowo Subianto yang gencar meminta agar pejabat negara, terlebih penegak hukum, wajib melayani kaduan masyarakat yang mencari keadilan di negeri ini. Bahkan, malah jadi terkesan sombong, seolah berani mengangkangi instruksi dalam pidato presiden tersebut.
Sebagaimana juga tercantum dengan jelas, dalam peraturan perundang-undangan, yakni:
– Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik: Undang-undang ini mewajibkan setiap penyelenggara pelayanan publik untuk menyediakan sarana pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten dalam pengelolaannya.
– Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik: Perpres ini menetapkan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) yang terintegrasi, yang dikenal dengan nama SP4N-LAPOR!.
– Sistem ini dirancang untuk memastikan semua pengaduan masyarakat ditangani secara sederhana, cepat, tepat, tuntas, dan terkoordinasi oleh kementerian, lembaga, dan Pemerintah Daerah.
Semoga saja berita tentang bapak Legiman Pranata ini, segera dapat diketahui dan dibaca sehingga segera bisa disikapi dengan tegas oleh Presiden Prabowo Subianto yang kepemimpinannya dengan jelas dan berulang-ulang dalam pidatonya menyatakan;
“Saya sebagai Presiden akan mengutamakan kepentingan membela rakyat kecil yang terdzholimi!”. Dan itu, de facto, saat ini memang mendapat simpati dan harapan dari Rakyat yang merindukan pemimpin Pembela Kebenaran. Rakyat saat ini memuji, terlihat bangga, pada kepemimpinan Prabowo sang Macan Asia itu.
Begitu pula harapan bapak Legiman Pranata, yang mengaku sudah lelah dan berencana untuk menempuh langkah terakhir dengan mengadukan nasibnya itu pada Presiden harapan rakyat, Prabowo Subianto juga kepada Ibu Partainya wong cilik, Megawati Soekarnoputri.
“Mungkin langkah pamungkas, saya sandarkan kepada Presiden Prabowo Subianto juga Ibu Megawati Soekarnoputri. Saya akan coba menulis bersurat, mengadukan nasib saya ini kepada beliau,” pungkas Legiman. (FC-G65)



