Penegakan hukum pidana melalui pendekatan sistem dikenal dengan
istilah sistem peradilan pidana.
Secara umum sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu proses bekerjanya beberapa lembaga penegak hukum .
Di Indonesia sistem peradilan pidana terdiri beberapa sub sistem yang terpisah secara tegas dengan bentuk kelembagaan yang mana secara Terminologi lima institusi tersebut dikenal sebagai Panca Wangsa penegak hukum, yang terdiri dari Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat.
Didalam proses penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana maka ideal harus bisa memenuhi tiga nilai dasar dari hukum yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan
Namun faktanya model pendekatan sistem peradilan pidana terhadap pelaku orang dengan Gangguan Jiwa atau disingkat ODGJ masih didapatkan kondisi yang belum ideal disebabkan masih belum tercapainya nilai keadilan ,kepastian dan kemampaatan
hal ini akibat masih adanya perbedaan penanganan beberapa perkara pidana akibat kuatnya model pemisahan lembaga
Kondisi perbedaan kapan diterapkan alasan penghapusan pidana akibat kondisi jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit tentunya tidak bisa kita anggap remeh bila kita hubungkan dengan kajian dari pusat data dan informasi kementerian kesehatan RI yang menerangkan jumlah ODGJ semakin meningkat setiap tahunnya, data Kemenkes tahun 2018 saja menyebutkan ada sekitar 450.000 ODGJ dengan kondisi berat dan bila kita kaitkan dengan kondisi saat ini akibat Covid-19 tentunya dapat memicu bertambahnya ODGJ di Indonesia.
Permasalahan pidana yang dilakukan ODGJ ini akan semakin heboh dengan adanya pemberitaan media jika korbannya adalah tokoh yang dihormati atau perbuatan pidana yang dilakukan ODGJ berkaitan dengan “SARA ”
Beberapa kejadian terkait ODGJ telah menimbulkan perang opini ditengah kemajuan teknologi terkait narasi pelakunya “pura pura gila” dan akibat perang opini berdampak memunculkan perbedaan proses penegakan hukum walaw sebenarnya permasalahan tersebut sudah dapat diselesaikan dengan penegak hukum tegas mempedomani pasal 71 undang undang kesehatan jiwa yang memerintahkan untuk kepentingan penegakan hukum “seseorang diduga ODGJ yang melakukan tindak pidana harus mendapatkan pemeriksaan Kesehatan Jiwa kata harus disini sebagai sebuah kewajiban penegak hukum”.
Namun dengan adanya kondisi pemisahan subsistem yang kental nuansa kelembagaan walaw sudah ditemukan alat bukti yang menerangkan Pelaku adalah ODGJ namun tetap muncul permasalahan kapan penerapan alasan penghapusan pidana itu dilaksanakan?
Faktanya dilapangan terdapat banyak perbedaan penerapan diantaranya
Pertama, terdapat peristiwa pidana tetapi tidak dinaikan ketahap penyidikan dan penyidik hanya melakukan tindakan mengamankan pelaku ke Rumah sakit jiwa selanjutnya mengumumkan penanganan perkara sedang dalam proses pemeriksaan kejiwaan dan kelanjutan penanganan berhenti diproses tersebut.
Pertanyaan apakah penyidik cukup hanya menempatkan seseorang ke rumah sakit jiwa serta tidak meningkatkan proses penyidikan padahal ada fakta telah ada peristiwa pidana, tentu hal memicu ketidakpastian dan keadilan serta bertentangan dengan pasal 17 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk Kepentingan Penegakan Hukum yang menerangkan
“Terperiksa harus dikembalikan kepada pemohon setelah pemeriksaan kesehatan jiwa selesai ”
dari uraian diatas tentu diamanat kepada penyidik untuk membawa kembali orang dimohonkan untuk diperiksa kejiwaanya bukan ditinggalkan di rumah sakit jiwa dan muncul juga terkait pertanyaan berwenangkah dalam “konteks penegakan hukum” penyidik tanpa putusan atau penetapan pengadilan menempatkan seseorang ke rumah sakit jiwa?
Kedua, ada juga penanganan perkara yang langsung dinaikan ke proses penyidikan tetapi dihentikan tahap penyidikan dengan dasar telah keluar hasil surat Pemeriksaan Kesehatan Jiwa berupa Visum et Repertum Psikiatrikum atau VeRP .
Pertanyaan apakah dibenarkan penyidik melakukan penghentian penyidikan dengan dalil tersangka gangguan kejiwaan?
Bahwa penghentian penyidikan diatur pasal 109 ayat (2) KUHAP. Alasan-alasan penghentian penyidikan diatur secara limitatif dalam pasal tersebut, yaitu:
1.Tidak diperoleh bukti yang cukup, yaitu apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka.
2.Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana.
3. Penghentian penyidikan demi hukum. Contohnya karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa
berdasarkan uraian diatas tidak ada dalil alasan gangguan jiwa dapat digunakan sebagai dasar menghentikan penyidikan.
Uraian diatas diperkuat penjelasan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk Kepentingan Penegakan Hukum yang mana peraturan menteri tersebut sebagai turunan dari amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa menerangkan
“Bukanlah tugas Dokter spesialis kedokteran jiwa yang membuat VeRP untuk menentukan pertanggung jawaban terperiksa karena pengertian itu bukanlah pengertian dalam disiplin ilmu kedokteran.
Penentuan pertanggungjawaban tersebut adalah hak dari hakim pengadilan Dokter spesialis kedokteran jiwa dapat membantu hakim dengan mengemukakan unsur-unsur yang
dapat menentukan pertanggungan jawaban terperiksa”
Ketiga ,terkait penangan perkara yakni berkas perkara dinyatakan lengkap oleh jaksa kemudian disidangkan oleh penuntut umum dengan proses yang panjang dan ahirnya divonis terbukti melakukan perbuatan pidana sebagaimana dakwaan namun lepas demi hukum .
Pertanyaan apakah tercapai tujuan melakukan proses peradilan bila dikaitkan dengan tujuan pemidanaan ?
Dari uraian diatas sistem peradilan pidana yang ada saat ini dengan nuansa kental pemisahan lembaga sepertinya Perlunya dilakukan rekonstruksi sistem peradilan pidana khususnya terhadap perkara orang yang melakukan pidana diduga ODGJ dengan jalan penguatan fungsi dominis litis kejaksaan guna merekonstruksi sistem peradilan dengan model terpisah saat ini menjadi sistem peradilan pidana terpadu .
Konsep diatas tentu sejalan dengan pasal 31 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan yang mengamanatkan Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri.
Singkatnya dalam sistem peradilan terpadu tersebut konsepnya berorientasi terhadap penyelesaian perkara bukan sebatas pemisahan lembaga serta berkas kertas perkara belaka dengan alur kerjanya penyidik sebelum menaikan penyidikan wajib langsung berkordinasi kepada jaksa selanjutnya jaksa selaku pengendali perkara meminta dan jika diperlukan maka dapat mendampingi penyidik untuk dapat menyiapkan alat bukti sebagaimana 184 KUHAP berupa keterangan ahli,surat ,saksi selanjutnya alat bukti tersebut dijadikan dasar jaksa memohon penetapan pengadilan
selanjutnya dipengadilan telah dibentuk hakim tunggal yang melakukan pemeriksaan atas permohonan penetapan yang diajukan jaksa dan menuangkan hasil pemeriksaan tersebut dalam bentuk putusan penetapan dengan dasar penetapan hakim tersebutlah jaksa menempatkan ke Rumah sakit jiwa dan menghentikan penangan perkara sehingga tercapailah keadilan ,kepastian dan kemampatan hukum terhadap perkara yang dilakukan oleh ODGJ .
Penulis : Alfa dera Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Jayabaya