Banjarmasin, SuaraBuana.com_
Banjir yang kembali melanda Kalimantan Selatan (Kalsel) dalam beberapa hari terakhir mempertegas krisis tata kelola lingkungan yang masih membayangi wilayah ini. Ribuan warga terdampak, aktivitas ekonomi lumpuh, dan fasilitas publik terendam di sejumlah kabupaten/kota seperti Banjar, Hulu Sungai Selatan, hingga Balangan. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan Selatan, puluhan ribu penduduk terpaksa mengungsi, dengan ketinggian air di sejumlah titik tercatat melebihi satu meter. Sejumlah akses jalan utama dan fasilitas pendidikan pun tidak dapat berfungsi akibat genangan yang meluas (BPBD Kalsel, 2024).
Fenomena banjir yang berulang ini jelas bukan sekadar peristiwa alam yang tidak terelakkan, melainkan hasil dari serangkaian kebijakan pembangunan yang abai terhadap daya dukung dan keseimbangan lingkungan. Wakil Bendahara Nasional BEM PTNU, Ahmad Rizki Setiawan, menegaskan bahwa cuaca ekstrem seharusnya tidak dijadikan kambing hitam tunggal atas bencana yang terus berulang ini.
“Banjir di Kalsel bukan peristiwa alam semata, melainkan akumulasi dari kebijakan pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan,” tegas Rizki.
Salah satu akar masalah utama adalah maraknya alih fungsi lahan, masifnya aktivitas pertambangan dan perkebunan skala besar di wilayah hulu sungai, serta minimnya pengawasan dan penegakan hukum lingkungan. Data Auriga Nusantara menunjukkan, sejak 2015 hingga 2023, lebih dari 150 ribu hektare lahan hutan di Kalsel beralih fungsi untuk kepentingan industri ekstraktif dan perkebunan (Auriga, 2024). Kondisi ini diperparah dengan penerbitan izin usaha yang tidak diiringi evaluasi ekologis yang memadai, sehingga daerah tangkapan air semakin terdegradasi dan kehilangan fungsi alaminya sebagai penyangga banjir (KLHK, 2023).
“Ketika izin usaha terus dikeluarkan tanpa evaluasi ekologis yang ketat, maka risiko bencana akan selalu ditanggung masyarakat,” lanjut Rizki.
Respons pemerintah, menurut Rizki, selama ini masih bersifat reaktif dan lebih menitikberatkan pada penanganan pascabencana dibandingkan upaya pencegahan yang bersifat struktural dan sistemik. Padahal, akar persoalan banjir justru terletak pada lemahnya pengelolaan tata ruang dan pengabaian prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
“Bantuan darurat memang penting, tetapi tidak cukup. Pemerintah harus berani mengambil langkah korektif terhadap kebijakan yang menjadi penyebab utama banjir,” imbuhnya.
Untuk itu, BEM PTNU mendorong pemerintah pusat dan daerah segera melakukan audit menyeluruh terhadap izin pertambangan dan perkebunan di kawasan-kawasan rawan banjir di Kalimantan Selatan. Evaluasi tata ruang, rehabilitasi daerah aliran sungai, serta pelibatan publik dan perguruan tinggi dalam pengawasan lingkungan merupakan langkah krusial yang tidak bisa lagi ditunda.
“Negara harus hadir sebelum bencana terjadi, melalui kebijakan pencegahan yang transparan dan berpihak pada keselamatan warga,” tegas Rizki.
Tanpa perubahan mendasar dalam arah kebijakan pembangunan dan tata kelola lingkungan, banjir akan terus menjadi ancaman tahunan yang mengorbankan masyarakat. Banjir yang berulang di Kalimantan Selatan adalah peringatan keras bahwa penanganan dampak saja tidak cukup; yang dibutuhkan adalah keberanian politik untuk menata ulang kebijakan berbasis lahan dan menegakkan tata kelola lingkungan yang berkelanjutan. (AGUNG)
BEM PTNU: Cermin Kegagalan Tata Kelola Lingkungan Dan Urgensi Evaluasi Kebijakan Berbasis Lahan



