BerandaDaerah Khusus JakartaBEM PTNU Se-Nusantara: Ini Bukan Bencana,Melainkan Perlawanan Alam Terhadap...

BEM PTNU Se-Nusantara: Ini Bukan Bencana,Melainkan Perlawanan Alam Terhadap Kebijakan Deforestasi

Jakarta, Suarabuana.com_
Bencana banjir dan tanah longsor yang baru-baru ini menghantam Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukanlah sekadar fenomena alam. Tragedi ini merupakan buah pahit dari kebijakan sistematis yang melegitimasi pembukaan hutan secara besar-besaran untuk perkebunan sawit dan ekstraksi sumber daya lainnya, dengan mengorbankan keselamatan dan masa depan masyarakat .

Dalam periode 2016–2024, lebih dari 1,4 juta hektare hutan di tiga provinsi tersebut hilang, sebagaimana dilaporkan WALHI . Angka ini bukan sekadar statistik administratif, melainkan cerminan hilangnya sistem penyangga hidup yang selama ini melindungi masyarakat dari banjir dan longsor. Data Global Forest Watch dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengonfirmasi bahwa laju deforestasi di Sumatra, khususnya di Aceh dan Sumatera Utara, termasuk yang tertinggi di Indonesia .

Ekspansi perkebunan sawit menjadi pendorong utama hilangnya hutan. Dalam satu dekade terakhir, luas kebun sawit di Aceh meningkat dari sekitar 440.000–455.000 hektare menjadi 565.135 hektare (2024), sementara di Sumatera Barat naik dari 379.662–448.820 hektare menjadi 555.076 hektare . Di Sumatera Utara, pertumbuhan areal sawit bahkan lebih masif, mencapai lebih dari 1,5 juta hektare pada 2024 . Data ini menegaskan bahwa ekspansi sawit berjalan seiring dengan penyusutan hutan secara drastis.

Analisis ilmiah menunjukkan korelasi negatif yang sangat kuat antara ekspansi sawit dan hilangnya tutupan hutan . Ketika hutan digantikan sawit monokultur, fungsi ekologis—seperti penyerapan air, penahan erosi, dan stabilisasi tanah—hilang. Akibatnya, saat hujan deras turun, air tidak lagi terserap, tanah menjadi rapuh, sungai meluap, dan bencana pun tak terhindarkan .

Fakta Ilmiah, Setelah hutan dibuka, frekuensi banjir bisa meningkat hingga 18 kali lipat dan keparahan bencana lebih dari dua kali lipat .
Di Aceh, probabilitas banjir paling tinggi di wilayah dengan tutupan pohon rendah dan dominasi sawit .

Banjir dan longsor pada November 2025 menewaskan lebih dari 1.000 orang dan memaksa lebih dari satu juta warga mengungsi di tiga provinsi . BMKG dan BNPB menegaskan bahwa selain curah hujan ekstrem, kerusakan lingkungan akibat deforestasi dan konversi lahan menjadi sawit memperparah dampak bencana . Di Aceh, 43% tutupan hutan di DAS Krueng Trumon hilang sejak 2016, sementara di Sumut, ekosistem Batang Toru kehilangan 72.938 ha hutan .

Bencana ini bukan sekadar akibat cuaca ekstrem, melainkan hasil dari kebijakan agraria dan ekonomi yang permisif terhadap ekspansi sawit dan perusakan hutan . Regulasi dan peta kawasan rawan bencana sudah tersedia, namun keberanian politik untuk menegakkan aturan seringkali kalah oleh tekanan investasi dan kepentingan korporasi . Ketika izin diberikan di kawasan hulu. Negara bukan hanya lalai, tetapi turut berkontribusi pada risiko ekologis yang kini menelan korban jiwa.
Bantuan masyarakat dan influencer di lapangan memang penting sebagai bentuk empati kolektif. Namun, tanggung jawab utama mencegah bencana tetap berada di tangan negara. Kritik yang hanya menyoroti respons pemerintah tanpa membahas akar struktural deforestasi dan ekspansi sawit akan berujung pada narasi yang dangkal.

Sumatra tidak sedang menghadapi bencana alam biasa. Sumatra sedang menghadapi krisis ekologis akibat kebijakan yang membiarkan hutan dirampas demi sawit, sementara pemerintah abai terhadap fungsi ekologis yang telah lama hilang. Jika pola ini terus berlanjut, bencana serupa hanya tinggal menunggu waktu. (AGUNG)

suara buana
suara buanahttps://suarabuana.com/
https://suarabuana.com/