BLORA, SUARABUANA.com – Dugaan kasus penganiayaan yang menimpa seorang perempuan warga Desa Gedangdowo, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora, menjadi sorotan setelah suaminya, RSB (inisial), menyampaikan keberatan atas penanganan perkara yang dinilainya tidak adil.
RSB mengungkapkan bahwa keluarganya bukan hanya menjadi korban kekerasan, tetapi juga mengalami intimidasi hingga diminta menandatangani kesepakatan damai dalam kondisi tertekan.
Menurut penuturannya, persoalan bermula dari urusan keluarga yang melibatkan anaknya, ALD (inisial).
ALD sebelumnya telah menjalin hubungan serius dengan seorang pria berinisial DN dan bahkan telah direncanakan menuju pernikahan.
Namun menjelang hari bahagia tersebut, muncul pihak lain berinisial MLN yang diduga memengaruhi ALD dengan berbagai janji materi.
“Hubungan anak saya itu sudah lama dan serius. Kalau tidak ada campur tangan pihak lain, tidak mungkin batal,” kata RSB, Sabtu malam (20/12/2025).
Meski merasa dirugikan secara moral dan menanggung rasa malu di tengah masyarakat, RSB mengaku memilih untuk mengalah dan tidak menuntut apa pun demi menjaga ketenangan keluarganya. Namun, konflik ternyata berlanjut.
Ia menuturkan bahwa istrinya kerap menerima perlakuan verbal yang tidak menyenangkan berupa sindiran dan kata-kata kasar dari keluarga MLN, terutama dari orang tua MLN.
Peristiwa memuncak ketika istrinya melintas di depan rumah MLN saat hendak melunasi utang belanja di sebuah warung.
“Saat berangkat dicaci, saat pulang juga masih dicaci. Istri saya akhirnya menegur, lalu terjadi cekcok,” ujarnya.
RSB menyebutkan, adu mulut tersebut berujung pada dugaan pengeroyokan terhadap istrinya yang diduga dilakukan oleh mertua MLN bersama salah satu anggota keluarga lainnya.
Akibat kejadian itu, korban mengalami luka dan harus mendapatkan perawatan medis serta menjalani visum di rumah sakit.
Ia juga menyayangkan sikap aparat yang datang ke lokasi kejadian. Menurutnya, ia justru merasa disudutkan dan tidak mendapatkan perlindungan sebagaimana mestinya.
“Saya sendirian di lokasi. Mereka banyak, dan saya merasa tidak ada yang membela,” ungkap RSB.
Lebih lanjut, RSB mengaku diminta menandatangani surat perdamaian di rumah pihak terduga pelaku.
Ia menilai proses tersebut dilakukan di bawah tekanan dan tidak mencerminkan keadilan, mengingat peristiwa yang dialami istrinya merupakan dugaan tindak pidana.
“Penganiayaan kok diselesaikan di tempat. Rasanya hukum hanya tajam ke bawah,” ucapnya dengan nada kecewa.
Merasa haknya sebagai warga negara tidak terpenuhi, RSB akhirnya menempuh jalur hukum.
Ia mengaku mendapatkan pendampingan hukum secara cuma-cuma dari pengacara Sugiyarto dan telah melaporkan peristiwa tersebut ke Polsek Jepon dengan nomor laporan STTLP/50/XII/2025/Sek Jepon.
“Saya orang awam dan tidak mengerti hukum. Saya hanya ingin keadilan ditegakkan,” katanya.
Sampai berita ini dipublikasikan, belum ada pernyataan resmi dari pihak terlapor maupun aparat penegak hukum terkait dugaan penganiayaan dan pemaksaan perdamaian tersebut.
Kasus ini diharapkan dapat diproses secara terbuka dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.(MKh)



