BerandaDepokMafia Koordinat Diduga Bermain, SPMB di Kota Depok Jadi...

Mafia Koordinat Diduga Bermain, SPMB di Kota Depok Jadi Kacau Balau

Depok, SUARABUANA.com – Jargon “pendidikan merdeka, transparan dan gratis,” yang sering digaungkan pemerintah, nampaknya hanyalah janji manis di mulut belaka. Realita yang sering terjadi di lapangan, jauh dari harapan yang diidam-idamkan. Proses pendaftaran masuk sekolah negeri SD, SMP, hingga SMA, melalui sistem daring (online) justru dirasa makin menyulitkan para orang tua siswa.

Hal itu diungkapkan oleh salah satu wali murid yang enggan disebutkan namanya saat ditemui di Kantor Dinas Pendidikan Depok, gedung Baleka II Lt 4, Gedung balaikota Jl Margonda Depok pada Kamis (05/06/2025). “Katanya pendidikan gratis dan adil, tapi daftar online malah bikin stress,” ujarnya kesal.

Perubahan skema Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Pendaftaran Murid Baru (SPMB) Tahun 2025, yang mengandalkan jalur zonasi, prestasi, dan afirmasi, justru menjadi momok menakutkan bagi para orang tua yang berharap anaknya bisa bersekolah di lembaga pendidikan negeri yang dibiayai negara.

Sistem zonasi yang mewajibkan domisili terdekat sebagai syarat utama malah dianggap mengabaikan amanat Undang-Undang. Ironisnya, panitia SPMB dinilai bukan lagi bertindak sebagai juri yang adil, melainkan sebagai “hakim mutlak” yang menentukan nasib anak-anak tanpa pertimbangan sosial yang manusiawi. “Anak saya ditolak hanya karena titik koordinat rumah dianggap tidak cukup dekat. Padahal lengkap semua berkasnya,” keluh seorang wali murid lainnya.

Sistem server online yang digunakan dalam proses SPMB diketahui dikelola oleh panitia sekolah yang terhubung langsung dengan Dinas Pendidikan Kota Depok. Sayangnya, sistem ini justru membuka ruang kecurigaan atas dugaan kecurangan dan permainan jarak koordinat. “Kalau anak ibu ditolak daftar online masuk SMP negeri, ya sudah ke swasta saja. Nanti dibantu pembiayaan Rp1,4 juta,” ujar salah seorang petugas yang dikutip oleh orang tua siswa.

Kondisi ini makin diperparah dengan ketentuan data pendamping. Syarat afirmasi mensyaratkan calon siswa harus masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), jalur Program Keluarga Harapan (PKH), dan memiliki Kartu Keluarga (KK) yang domisilinya tepat di sekitar sekolah.

Larangan “titipan siswa” justru didukung para orang tua, namun pelaksanaan di lapangan tak semudah itu. “Saya tidak peduli dengan aturan Pemerintah Kota Depok yang melarang titipan. Yang penting anak saya bisa sekolah (negeri),” kata salah satu orang tua siswa dengan nada tinggi.

Sementara itu, pernyataan viral Wakil Wali Kota Depok, Chandra Rahmansyah, di TikTok sempat menumbuhkan harapan. “Pegang omongan saya. Kalau setelah kami dilantik masih ada praktik jual beli bangku sekolah, saya akan jadi orang pertama yang mengundurkan diri,” ucapnya lantang. Tapi, di mata warga, janji itu kini dianggap hanya omong kosong.

“Yang penting anak saya bisa masuk sekolah. Mau dia janji mundur atau tidak, saya tidak peduli. Sistem zonasi ini tidak adil!” sambung orang tua lainnya.

Ada juga warga yang mengaku telah berkeliling ke beberapa sekolah seperti SMPN 2, SMPN 9, dan SMPN 29 sesuai saran guru, namun ketiganya tetap menolak karena perbedaan titik koordinat yang tak signifikan. “Kalau semua sekolah negeri yang disarankan ditolak, kami harus bagaimana? Mau coba jalur prestasi juga belum tentu diterima. Bantuan biaya ke sekolah swasta pun katanya hanya sebatas teori. Praktiknya? Bisa lain cerita,” ujarnya geram.

Tak sedikit warga menduga adanya praktik “mafia koordinat” dalam sistem pendaftaran online. Titik koordinat diduga bisa “diutak-atik” agar yang dekat menjadi jauh, dan sebaliknya. Mereka yang seharusnya berhak malah terpental datanya.

Pradi Supriatna, anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Dapil Depok-Bekasi, menegaskan bahwa sistem zonasi dan afirmasi ini akan dievaluasi secara menyeluruh. “Saya banyak menerima keluhan warga soal anaknya ditolak masuk sekolah negeri. Kami akan tindak lanjuti,” tegasnya saat ditemui dalam kegiatan pemotongan hewan kurban di Sekretariat DPC Partai Gerindra kota Depok pada Jumat (06/06/2025).

Sementara itu, Siswanto, anggota Komisi D DPRD Kota Depok, mengakui bahwa proses pendaftaran dari SD ke SMP secara administratif terpantau aman. Namun, dengan munculnya berbagai kecurangan dan keluhan, pihaknya berjanji akan menelusuri dan mengambil tindakan tegas.

Dari pihak masyarakat sipil, Maulana dari LSM GEMA PELDEN Indonesia turut mengecam sikap pemangku kebijakan. “Pemimpin tidak boleh mengatakan tidak bisa membantu dalam soal SPMB. Mereka itu dipilih oleh rakyat Depok, bukan jadi boneka administrasi!” cetusnya.

Ia juga menyesalkan belum adanya realisasi nyata dari rencana pembangunan gedung sekolah baru, padahal dananya tersedia melalui APBD Kota, bantuan Provinsi, hingga APBN pusat. “Gedung sekolah bisa dibangun, kenapa tidak direalisasikan? Jangan cuma janji!” tegasnya.

Saat ini, ribuan calon siswa masih menunggu kepastian. Para orang tua berharap anak-anak mereka bisa diterima di sekolah negeri yang dijamin oleh negara. Apalagi ini masih jenjang dasar dan menengah, belum sampai perguruan tinggi. (Irfan)

suara buana
suara buanahttps://suarabuana.com/
https://suarabuana.com/