Jakarta, SUARABUANA.com Minggu 19 Januari 2025 mendatang pianis & komponis Ananda Sukarlan akan konser bersama para musisi klasik generasi alpha.
Mereka adalah pemain biola Veeshan Nathaniel Tandino dan soprano Freya Murti Pramudita (para pemenang Kompetisi Piano Nusantara Plus 2024-red), serta pianis Samuel Dazhill dan Michael Anthony. Konser bertajuk “Gen Alpha of Classical Music” itu akan berlangsung di Galeri Seni Hadiprana di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, pukul 3 sore.
Akan ada beberapa premiere (pertunjukan perdana) dari karya baru Ananda Sukarlan, antara lain tembang puitik dari puisi Penyair D. Zawawi Imron (yang baru menerima Anugerah Penyair Adiluhung 2024) dan Penyair Pulo Lasman Simanjuntak.
Berikut obrolan Penyair Pulo Lasman Simanjuntak dengan Komponis Ananda Sukarlan di sela-sela persiapan konser tersebut di Jakarta pada Minggu malam (12/1/2025).
Pulo Lasman Simanjuntak (PLS) : Bagaimana pemilihan repertoire / musik untuk konser tanggal 19 Januari 2025 nanti?
Ananda Sukarlan (AS) : Karena kita sudah dekat Imlek atau Tahun Baru Cina, ada yang berhubungan dengan itu dong. Ada Rapsodia Nusantara no. 36 yang berdasarkan lagu asli Banten “Dayung Sampan”, tapi kemudian diganti teksnya oleh Zhuang Nu untuk Teresa Teng, penyanyi Taiwan menjadi “Tian Mi Mi” yang kini mendunia. Ini untuk membuka mata kita, bahwa lagu asli kita bisa mendunia, tapi (pemerintah) kita sendiri tidak menjaganya sehingga menjadi milik orang lain!
Lagu lain adalah “Malam Cahaya Lampion” dari penyair Tan Lioe Ie yang saya bikin menjadi Tembang Puitik, yang akan dinyanyikan oleh soprano muda Freya Murti Pramudita, juara ke-2 Kompetisi Piano Nusantara Plus tahun 2024 kemarin.
PLS : Tembang Puitik dari siapa lagi yang akan anda mainkan, dan kenapa anda tertarik dengan puisi-puisi saya dan juga yang lainnya ini?
AS : Tembang Puitik lainnya sangat berhubungan dengan situasi saat ini, seperti dari puisi anda, ‘bang Pulo Lasman Simanjuntak dan kebetulan saya sudah memprogram tembang puitik saya dari puisi D. Zawawi Imron sebelum beliau menerima Anugerah Penyair Adiluhung Desember lalu. Pas banget kan? Ada lagi puisi tentang sungai oleh penyair Minang, Ubai Dillah Al Anshori meratapi keadaan sungai-sungai kita yang sangat menyedihkan saat ini …. Buat saya, karya seni harus mencerminkan situasi atau kejadian saat ini, karena buatku karya seni adalah dokumentasi sejarah tapi dalam bentuk artistik yang mengena langsung ke emosi, sehingga kita bisa lebih merasakan situasi bersejarah yang bukan sekedar menghafal data-data yang dingin. Seni lah yang membantu kita memahami sejarah dan belajar untuk menjadi lebih baik dan progresif. Puisi-puisi bang Lasman, Tan Lioe Ie, Prof. Tengsoe Tjahjono, Zawawi Imron dan Ubai Dillah Al Anshori yang akan kami mainkan Minggu depan sangat menggambarkan situasi sekarang. Kalau soal puisi-puisi tentang cinta dan hal-hal lainnya saya biasanya bikin kalau sedang iseng saja, atau sedang jatuh cinta hahaha …..
PLS : Para pemain yang anda undang untuk ikut itu adalah para pemenang kompetisi Piano Nusantara Plus dan Ananda Sukarlan Award (ASA) ya. Apa beda KPN+ dan ASA?
AS : Kompetisi Piano Nusantara Plus ( KPN+ ) itu lebih “ramah”, bisa untuk anak-anak yang belum pernah mengikuti kompetisi bahkan. Ini adalah kali pertama kompetisi musik klasik membuka kesempatan pemusik semua instrumen untuk bergabung, tentu saja termasuk vokal klasik di kategori Tembang Puitik. Dan ini “terinspirasi” oleh saya sendiri yang sudah melakukannya sejak ASA tahun lalu, meskipun ASA masih terbatas kategorinya. Saya sebagai ketua jurinya kebetulan berprofesi sebagai komponis, yang dulu waktu kuliah “terpaksa” belajar memainkan semua instrumen walaupun hanya basic technique saja. Jadi saya mengerti seluk-beluk berbagai instrumen lain, baik gesek maupun tiup. Tapi dengan seiringnya waktu, saya sudah bekerja dengan musikus berbagai instrumen untuk bisa mendalaminya lebih jauh. Untuk ASA, karena level-nya lebih tinggi, saya juga mengajak juri lain di instrumen bidangnya, untuk tahun 2025 ini saya mengajak Alice Cahya Putri (soprano lulusan Hungaria dan kini mengajar di Singapura) dan Eric van Reenen (pernah menjadi pemain oboe Philharmonie Zuidnederland dan sekarang tinggal di Cina sebagai pemain oboe solois) serta beberapa juri lain.
Masih ada satu lagi nilai tambah yang unik dari kompetisi Piano Nusantara Plus, karena saya menaruh perhatian besar pada dunia pendidikan untuk teman-teman disabilitas dan berkebutuhan khusus. Kami membuka kategori Non Kompetisi yang bisa diikuti pemusik berkebutuhan khusus dan disabilitas fisik.
PLS : Kenapa anda tertarik dengan isu disabilitas?
AS : Ya saya juga lahir dengan Asperger’s Syndrome kan. Dan saya merasakan bagaimana hidup di masyarakat yang masih belum sadar dan ramah terhadap disabilitas, terutama waktu saya kecil. Jadi saya tahu bagaimana rasanya “berbeda” dengan kebanyakan orang, makanya saya banyak bekerja untuk teman-teman yang mengalami hal yang sama untuk menunjukkan bahwa kami hanya berbeda, tapi kami tidak kurang atau cacat. Kalau ada kesempatan, kami juga bisa berkontribusi sebagai anggota masyarakat yang berguna.
Saya telah bekerjasama dengan Fundacion Musica Abierta di Spanyol untuk membuat musik bagi anak-anak yang secara fisik berkebutuhan khusus (disabled), misalnya hanya satu tangan atau beberapa jari saja yang berfungsi. Apa yang telah saya pelajari di periode itu kini saya usahakan untuk diwujudkan di Indonesia, antara lain lewat Yayasan Musik Sastra Indonesia yang kami didirikan bersama Ibu Pia Alisjahbana, Bapak Dedi Panigoro dan Chendra Panatan manager saya. Ada beberapa karya yang saya mainkan di konser tanggal 19 nanti : Lonely Child (untuk satu jari, atau bahkan bisa dengan tongkat pendek / stick saja), dan juga “Sweet Sorrow” yang untuk biola dan piano itu pianonya hanya dimainkan oleh dua jari saja di setiap tangan. Ini untuk menunjukkan bahwa kaum disabilitas bisa bermain bersama dengan musikus-musikus lain yang “normal”.
PLS : Apa pesan yang ingin anda sampaikan melalui konser tanggal 19 nanti?
AS : Saya ingin menyampaikan bahwa kita, para seniman, pelajar dan pendidik seni – kita dapat menjadi jembatan untuk jurang pemisah dalam masyarakat kita yang sangat terglobalisasi. Kita dapat memainkan peran mendasar dalam mengubah berbagai konflik ini dari hambatan menjadi peluang untuk pemahaman, kolaborasi, dan perubahan yang lebih dalam.
Saya, mewakili para musisi lain juga ingin menyerukan dialog yang lebih dalam. Dialog yang melampaui perbedaan negara, suku, agama bahkan generasi. Peran kompetisi musik bukan untuk sekedar bertanding, tapi juga adalah untuk mempersiapkan siswa untuk masa depan yang menuntut pemapanan identitas dan jati diri, kreativitas, dan keberanian untuk beradaptasi. Seni bukan sekadar cerminan masyarakat – seni adalah platform bagi masyarakat, ruang tempat kita merayakan, memperjuangkan, berani mempertanyakan dan mengubah hal yang kurang baik menjadi lebih baik. Seni dan kompetisi seni adalah tempat kita berkumpul, tidak hanya untuk melestarikan masa lalu tetapi juga untuk membentuk masa depan yang kompetitif tapi juga kolaboratif.(***)
Kontributor : Lasman Simanjuntak